Jagad media sosial, setidaknya di Surabaya dan sekitarnya, baru saja diramaikan kisah Kakek “Winnie the Pooh” Suaedi di Sidoarjo, Jawa Timur.
Awalnya adalah reportase radio Suara Surabaya yang mengisahkan nasib “malang” Suaedi lewat fans page FB. Dikisahkan, berdasar pengakuannya, Suaedi (70) berasal dari Driyorejo-Gresik, miskin, stroke, dan sebatang kara. Sehari-hari dia mencari nafkah di jalanan Sidoarjo, sebagai badut dalam kostum beruang Winnie the Pooh. Kisah ini mengundang simpati/empati dari ratusan ribu netizen.
Tapi kisah itu berubah menjadi polemik di media sosial ketika Dinsosnakertrans Sidoarjo, yang bermaksud membantu, mengungkap jatidiri Suaedi. Dia ternyata berasal dari Mojokerto, punya 7 orang isteri dan 5 orang anak, tidak stroke, membadut dikawal isteri, penghasilan Rp 500,000/hari (Rp 15 juta/bulan), dan punya rumah bagus serta 2 unit sepeda motor.
Kisah Suaedi sejatinya cuma satu kasus dalam sebuah gejala sosial besar yang disebut eksploitasi solidaritas sosial. Lakonnya disebut “pencitraan” untuk meraih simpati/empati demi keuntungan sendiri. Lancas seperti apakah gejala itu dan bagaimana solusinya?
Solidaritas Mekanis
Solidaritas, mekanis ataupun organis (E. Durkheim), adalah sumberdaya sosial yang dapat didayagunakan untuk kepentingan bersama atau pribadi.
Solidaritas mekanis adalah kesaling-pedulian karena homogenitas sosial. Misalnya senasib, sekampung, segolongan, dan seprofesi. Yang dieksploitasi di situ adalah sentimen sosial. Bentuk solidaritas ini lazimnya berlaku dalam masyarakat pertanian di pedesaan. Manifestasinya terutama adalah tolong-menolong dan gotong-royong.
Dalam skala nasional gejala solidaritas mekanis tampil dalam bentuk gerakan penggalangan bantuan untuk satu atau sekelompok orang yang mengalami ketak-beruntungan. Misalnya gerakan “Coin for X” atau “Sumbangan untuk Y”.
Solidaritas organis sebaliknya adalah kesaling-pedulian karena heterogenitas sosial, misalnya beda profesi. Yang dieksploitasi di situ adalah interes pribadi. Bentuk solidaritas ini adalah konsekuensi pembagian kerja dalam masyarakat industrial di perkotaan. Manifestasinya adalah transaksi, khususnya jual-beli barang/ jasa, demi pemenuhan kepentingan pribadi.
Dalam kasus Suaedi, yang diekploitasi adalah sumberdaya solidaritas mekanis dalam masyarakat perkotaan. Ini berkait dengan fakta memudarnya solidaritas mekanis di pedesaan akibat penetrasi kapitalisme yang semakin dalam. Pada saat bersamaan, karena arus migrasi dari desa, di perkotaan terbentuk masyarakat “pra-kota”. Masyarakat ini masih memegang kultur desa antara lain nilai solidaritas mekanis. Kondisi ini lantas menyediakan ruang eksploitasi sentimen sosial demi kepentingan pribadi di perkotaan.
Suaedi, serta orang-orang setipe, kemudian mengeksploitasi ruang itu melalui pencitraan diri sebagai “korban pembangunan”. Dia mengulik sentimen sosial warga “pra-kota” sebagai sesama “orang yang terpinggirkan”. Hasilnya terbitlah solidaritas sosial mekanis dalam wujud “sedekah”, senilai Rp 15 juta/bulan untuk kasus Suaedi.