Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dilarang Tertawa Saat Menulis Humor

6 November 2014   17:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:29 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lho, koq begitu? Ya, begitu. Ada tiga alasannya, menurut pengalaman saya sendiri.

Pertama, kalau saya tertawa terus, lha, terus kapan menulis humornya? Gak bakalan jadi tuh cerita humor, ‘kan?

Kedua, kalau saya tertawa terus-menerus, orang di rumah pasti akan membawa saya ke RSJ, atau ke psikiater paling tidak.

Ketiga, dan ini absurd, kalau saya berhasil menulis humor sambil tertawa, pasti humornya tak lucu lagi, karena kuota tawanya telah habis saya gunakan.Tertawa itu hak pembaca, bukan hak penulis.

Bisa dilihat padanannya pada film atau animasi komedi.  Kita tertawa menonton Charlie Chaplin, atau Mr. Bean, karena mereka tidak tertawa, bukan?  Kita juga tertawa menonton Tom & Jerry atau Donal Bebek, karena mereka tidak tertawa, bukan? (Lagi pula, bebek tertawa atau menangis, sama saja di kuping kita).

Tadi, saya bilang, ini berdasar pengalaman sendiri.Ya, benar, berdasar pengalaman menulis serial “Humor Revolusi Mental”.Sudah memasuki serial #018, dari “n” seri yang saya rencanakan.

Kebanyakan humor saya tidak masuk “Highlight” Kompasiana, alias “tidak lucu” sehingga terbang bersama angin lalu.Beberapa masuk “Highlight”, dengan imbalan jumlah pembaca sedikit lebih banyak.Dan ada satu yang nyasar masuk “Trending Article”, dengan imbalan lebih banyak pembaca dan komentar.

Sebenarnya, humor-humor yang tidak masuk “Highlight” itu menurut saya sangat lucu.Makanya saya tertawa abis saat menulisnya.Tapi di situlah rupanya malapetaka menjemput.Kuota tawa untuk humor-humor itu rupanya sudah saya habiskan. Sehingga Admin Kompasiana sendiri rupanya tidak bisa tertawa lagi, karena jatah tawanya sudah saya pakai.Akibatnya, buruklah nasib humor itu.

Tapi sudahlah.Sedikit atau banyak yang membaca, saya akan terus menulis seri “Humor Revolusi Mental”.Dan saya akan berusaha untuk tak tertawa saat menulisnya, karena saya tak ingin merampas hak tawa pembaca.Dengan begitu, saya berharap dapat menulis humor yang baik dan benar.Humor yang mengundang pembaca tertawa, tanpa rasa tersinggung atau dilecehkan. Sebab bukankan membuat orang lain tertawa itu amal ibadah terindah?

Sejujurnya, saya tidak tahu apakah para pembaca humor saya benar-benar tertawa atau tidak.Sekalipun misalnya dalam komentar ada yang menulis “hahaha”, atau “hehehe”, atau “wkwkwk”.Itu kan tulisan, saya tak mendengar suara tawa mereka.Jadi, saya hanya bisa berharap, sambil membayangkan, pembaca benar-benar tertawa.

Saya sebenarnya sedang menderita kemarau ide humor. Makanya hari ini menulis artikel curhatbegini.Otak saya agak bebal saat diajak mengutak-atik pengalaman dengar, lihat, rasa, dan kelakuan di masa lalu untuk dibelok-bengkokkan menjadi humor.

Lalu, mengapa saya beri tag “Humor Revolusi Mental”?Sejujurnya, memang ada sedikit keinginan untuk memberi kesan “wah”.Frasa “revolusi mental” ‘kan lagi ngetop gitu.Tapi bukan itu alasan utamanya.Saya percaya bahwa “tertawa” adalah proses “revolusi mental” yang paling menyenangkan dan membahagiakan yang bisa melontarkan kita pada tataran mentalitas yang lebih segar.

Karena itu tertawalah, maka bagimu dunia menjadi lebih indah.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun