(#02 Trilogi Anarkisme Penulisan) Di luar dugaan, tapi menggembirakan, artikel saya jangan-ajari-aku-cara-menulis-artikel yang tayang di Kompasiana (9/4/2015) mendapat tanggapan lumayan.Jumlah hit tercatat 111 kali (termasuk dari saya), jumlah penanggap 21 orang (termasuk saya), dan jumlah vote 20 suara (termasuk saya).Jumlah vote ini mengantar artikel itu bertengger sejenak di jendela “Inspiratif”.Bukankah ini lumayan untuk kategori artikel kategori HL (Hanya Lewat).
Di luar dugaan juga, tapi kali ini menyebalkan, artikel yang semula saya tayangkan pada sub-kanal filsafat pada kanal Humaniora itu, zonder nuwun sewu dipindahkan Admin ke sub-kanal hobby di kanal Lifestyle.Ini namanya “kekerasan” terhadap “artikel” saya, dengan memvonisnya berkategori “hobby” padahal “filsafat”.
Mendapat perlakuan “kekerasan” seperti itu, saya perlu sedikit membela diri, dengan menuliskan artikel ini, sebagai suplemen untuk artikel tersebut.Saya ingin jelaskan sedikit tentang gagasan anarkisme dalam penulisan yang saya tawarkan itu, dan kaitannya dengan signature artikel.
Supaya jelas juga, bahwa saya sebenarnya sedang bicara pada tataran filsafat, bukan tataran praktis hobby tulis-menulis.
Gagasan Anarkisme Feyerabend
Gagasan anarkisme penulisan yang saya ajukan sebenarnya merujuk pada gagasan anti-metode atau anarkhisme metode sains dari filsuf Paul Feyerabend (Against Method: Outline of an Anarchist Theory of Knowledge, New York: Verso Books, 2010).Menurut Feyerabend, sains berkembang karena upaya anarkhis, bukan karena upaya monistik di bidang epistemology atau khususnya metodologi.
Dengan kata lain, Feyerabend tak percaya monisme metodologis dapat membawa kemajuan sains.Dengan merujuk pada studi kasus historis, Feyerabend menunjukkan bahwa premis heliosentrisme dari Galileo misalnya tidaklah lahir berkat monisme metodologis, melainkan berkat penggunaan teleskop, tanpa argumen teoritik, dianggap mampu menangkap realitas tatasurya sebagaimana sebenarnya.
Berdasar kasus historis perkembangan sains itu, Feyerabend lalu tiba pada gagsan bahwa “apa saja boleh” (anything goes) dalam sains.Artinya, tidak harus terpaku pada satu kesepakatan metodologis sains sebagai jalan tunggal.
Gagasan filsafat sains Feyerabend itulah yang saya pinjam untuk diterapkan dalam dunia tulis menulis.Saya lalu menganjurkan gagasan anarkisme metode/teknik dalam penulisan, demi menghasilkan sesuatu yang “baru”, sebuah “karakter”, bukan pengulangan atas pola yang lama atau sudah usang.
Itu sebabnya, dalam akhir artikel tersebut saya menyerukan untuk melupakan saja buku/artikel pedoman atau petunjuk praktis tulis-menulis yang cenderung “monistik”.Seolah-olah hanya dengan “jalan tunggal” itu saja seseorang bisa menuliskan atau menghasilkan sebuah tulisan atau artikel.
Jika semua orang mengikuti “jalan tunggal” dalam penulisan, maka tidak akan ada “kebaruan” dalam arti kemajuan atau perkembangan dalam dunia-tulis menulis.Semua tulisan akan tampil dengan karakter serupa yang monoton, seperti karakter skripsi-skripsi yang bermeter-meter panjangnya di rak perpustakaan Perguruan Tinggi.Semua skripsi berbicara dengan cara yang sama, dan sebagian besar tentang hal yang sama.Apakah ada “kebaruan” atau “kemajuan” di situ?
“Karakter” baru, yang bisa disebut sebagai signature, adalah indikator “kebaruan” dalam dunia sains ataupun tulis-menulis.Dan saya sepakat dengan Feyerabend bahwa suatu signature , khususnya dalam dunia tulis-menulis, hanya mungkin diraih melalui jalan anarki.
Signature Artikel di Kompasiana
Saya tidak ingin berteori tentang signature artikel ini.Lebih baik saya berikan saja contoh-contoh tulisan Kompasianer yang menurut saya tergolong anarkis, sehingga tulisan mereka menjadi unik karakternya, dalam arti memiliki signature sendiri.
Saya akan kutipkan bagian artikel dari beberapa Kompasianer di bawah ini, lalu cobalah tebak sendiri siapa penulisnya.
Kutipan pertama: “Panik katanya ketuban pecah, iya panik wajar saja, saya pun pernah pecah ketuban anak kedua jam 3 pagi, ya saya segera dibawa ke rumah sakit, menunggu dokter jam 6 dioperasi Caesar, ada jeda 3 jam, kalau khawatir sudah jelas, tapi otak terus berjalan. Saya waktu hamil anak kedua pendarahan terus, tapi ya saya berserah diri saja pada Tuhan, sambil tetap jaga kesehatan. Saat hamil kan sudah kita tanya-tanya kira-kira mau ke puskesmas atau ke rumah sakit melahirkannya, atau ke Bidan. Kalau bisa normal ya tak usah Caesar yang maha-mahal. Nah lagi, kalau kita gak mampu ke kelas 3 napa ???? koq kelas 1 sih ? terus minta Pak Ahok yang bayar, kalo gak bayar nanti dikata pelit……………”
Kutipan kedua: “Glek.. Saya tersedak kaget, gak nyangka mahasiswi yang kinyis-kinyis ini, peraih IPK 3.68, yang aktif di kegiatan kampus ternyata berani berkata hal sensitif di luar urusan kampus. Saya balas SMSnya “Kalo adik mau makan atau nonton sama Saya, ya ayo. Tugas tetap dikumpulkan senin yah.” Gak sampai lima detik, datang SMS balasan “asikkkkkkkkk (k-nya sembilan), my dream comes true, bapak jemput saya di kost? Atau saya ke rumah bapak?” Saya balas gak kalah cepat “Kita ketemu aja di Pejaten Village XXI, sabtu malam sekitar jam 19.00. Saya ajak anak istri sekalian, kasihan kalo mereka ditinggal di rumah.” Mahasiswi saya lalu membalas SMS tersebut “Iya Pak.”
Kutipan ketiga: “Ini bener-bener pengalaman yang masih anget saat saya dan keluarga liburan musim semi kemarin ke daerah Gunung Fuji. Sehabis menginap di daerah Shizuoka, pulangnya kami berziarah ke makam keluarga besar suami di kaki Gunung Fuji. Pulang dari nyekar tiba-tiba anak sulung bilang sama papanya, “Pa jadi gak kita uji nyali?” Haah, kaget saya! Ini pasti deh tentang obrolan kemarin malam tentang kisah Hutan Aokigahara. Dan nggilaninya, suami saya langsung jawab kalem, “Ayuk, boleh, ini sekalian pulang.” Huwaa kejer saya di jok belakang, si bungsu juga udah ngamuk-ngamuk gak mau, takut katanya.”
Kutipan keempat: “Dalam satu jam membuka media sosial, teramat mudah menjumpai status-status anti sosial. Agendanya seperti terencana, mengumpan-umpan kail permusuhan, menggali potensi ketaksukaan bahkan membuka front kebencian dan penghancuran martabat sesama manusia. Penulispun kadang menuliskan status yang anti sosial ini, namun penulis lekas-lekas menyadarinya bahwa status buruk itu, tiadalah baik-baiknya. Ini refleksi dari kepribadian seseorang atau pengguna akun (asli/palsu). Jadi bukan dipersoalkan pada keaslian atau kepalsuan akun tetapi muatan status itu bergenre kontra sosial.”
Empat orang Kompasianer yang bagian artikelnya saya kutip itu menurut saya sudah memiliki signature dalam artikelnya.Sehingga walau tak dicantumkan namanya, kita segera tahu siapa penulisnya.
Selain keempat orang yang artikelnya dikutip itu (sudah tahu siapa mereka, bukan?), masih banyak Kompasianer yang artikelnya “berkarakter” dalam arti memiliki signature. Saya tak perlu menyebut namanya satu per satu.Tapi cukup saya katakana keyaninan saya, bahwa mereka itu semua tergolong penulis anarkis, yang menulis artikel dengan cara apa saja yang mereka kreasikan sendiri, tetapi dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah logika, etika, dan estetika.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H