Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Betapa Indah Kematian Nenekku

28 Maret 2016   12:29 Diperbarui: 28 Maret 2016   12:53 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

Sabtu Duapuluh Enam Maret Duaribu Enambelas
Pada sebuah Malam Paskah di Gereja Santa Perawan Maria Ratu
Ketika cahaya Lilin Paskah di samping altar menjalari udara di seluruh ruang gereja
Ketika cahaya mentari di ufuk barat telah dipeluk remang senja lalu gelap malam
Ketika jarum pendek arloji di pergelangan tangan kiriku menunjuk angka tujuh.

“Bagaimana cara terindah untuk mati sehingga langsung masuk surga?”
Kalimat pertama, sebuah pertanyaan menyentak tali jiwaku, pembuka kotbah pastor
Pertanyaan Malam Paskah yang tak lazim, meneror, mengirim pesan yang menciutkan nyaliku yang kerdil.

“Sabda terakhir Yesus di atas kayu salib, ‘Sudah selesai’, sabda terakhir yang menyatakan suatu peristiwa kematian terindah yang pernah ada, yang pertama sekaligus terakhir kali ada di atas bumi.” Kalimat kotbah entah yang keberapa, sebuah pernyataan tentang kematian Anak Manusia yang sunyata, suwung, kosong dari keakuan, dari pastor dari tatar altar gereja menerpa gendang telingaku dengan ketajaman yang terasa lembut.

‘Sudah selesai.’ Kematian Sang Penebus telah terjadi sebagai maklumat kemenangan atas kematian itu sendiri. Suatu kematian yang memerdekakan umatNya, memerdekakan diriku yang ada ribuan tahun sesudahnya, dari suatu kematian iman. Suatu kematian yang meniupkan nafas iman yang baru.

“Bagaimana cara terindah untuk mati sehingga langsung masuk surga?”
Sebuah pertanyaan yang sungguh tak pernah terpikir olehku, karena yang terpikir olehku adalah kehidupan yang indah untukku. Sebuah pikiran yang memenjarakankan diriku dalam keakuan yang menolak sebuah kematian, karena kematian bagiku adalah sebuah peristiwa kehilangan akan keindahan. Aku menolak untuk kehilangan.

“Kosong dari keakuan. Sunyata. Suwung.” Pengulangan kalimat kotbah entah yang keberapa, dari pastor di tatar altar. Kematian yang indah adalah kematian manusia yang telah kosong dari keakuan, kematian yang tidak menyisakan hutang-hutang duniawi dan akhirat bahkan sebesar zarah terkecil yang mungkin ada.

“Kita tak dapat memilih cara terindah untuk lahir ke dunia, tetapi kita dapat memilih cara terindah untuk pergi meninggalkan dunia. Maka belajarlah mengosongkan diri dari keakuan, menjadi sunyata, lalu merindu kematian sebagai keindahan tiada tara, sebagai kemenangan atas kematian itu sendiri.” Lagi, kalimat-kalimat kotbah pastor menerobos pintu ke ruang terdalam kesadaranku.

“Aku tak punya apapun lagi untuk diberikan kepada kalian.” Terngiang kalimat nenekku, sesaat setelah menerima suapan terakhir dariku, pada upacara adat “manulangi”, menyulangkan “makanan terakhir” bagi nenekku. “Manulangi”, menyulangkan makanan terakhir, kini bermakna baru bagiku, yakni makna sebagai sebuah pernyataan ‘Sudah selesai.’ Sebuah pernyataan menerima kematian sebagai kemenangan, selagi roh masih dikandung badan.

Maka aku teringat akan semua tindakan nenekku dalam tahun-tahun terakhir menjelang kematian yang telah lama dirindunya.

Nenekku telah mengalahkan segala rasa sakit atas kehilangan segala keakuan, segala hal yang diakukan, yang diaku sebagai milik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun