Bagaimana mungkin seseorang yang bersikap anti pada waktu bersamaan ternyata bersikap pro juga?
Atau, dalam “Kasus Ahok”, bagaimana mungkin seseorang yang terbilang “Anti-Ahok” ternyata adalah pendukung sejati Ahok? Dengan kata lain, “Pro-Ahok” sejati?
Apakah ini provokasi? Atau pembalikan logika? Bukan keduanya. Sebab ada satu penjelasan logis untuk pernyataan itu.
Yang saya maksudkan adalah penjelasan metodologis. Begini. Dalam metodologi riset, ada dua pendekatan untuk menemukan kebenaran (ilmiah). Pertama, verifikasi dan kedua, falsifikasi.
Agar tidak pusing dengan definisi (filsafat ilmu), saya beri illustrasi saja untuk pemahaman sekaligus pembedaan keduanya.
Misalkan ada orang menjual 100 butir telur ayam. Menurut penjual, semua telur itu baik, tidak ada yang busuk.
Tapi pembeli yang jeli tak akan percaya begitu saja. Dia akan memeriksa kebenaran klaim penjual. Pertanyaannya: “Apakah 100 butir telur ayam tersebut baik?”
Jika pembeli itu seorang penganut verifikasi, maka dia akan menjawabnya dengan cara sebagai berikut: “Ambil sampel 30 butir telur secara acak. Periksa mutunya. Jika semuanya baik, maka dapat disimpulkan semua telur baik.”
Sebaliknya, jika pembeli seorang penganut falsifikasi, maka dia akan menjawabnya dengan cara sebagai berikut: “Temukan 1 butir telur busuk. Jika ada, maka dapat disimpulkan tidak semua telur baik. Jika tak ada, maka bisa disimpulkan sejauh ini tidak ditemukan adanya telur busuk.”
Intinya, kaum verifikasionis berupaya membuktikan kebenaran dari suatu klaim. Sebaliknya kaum falsifikasionis berupaya menunjukkan kepalsuan dari suatu klaim.
Sekarang, jika hendak dikenakan pada Ahok, maka konteksnya adalah kriteria elegibilitas sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta tahun 2017.