Terus terang, saya sangat terganggu dengan label "difabel" atau "berkebutuhan khusus" yang disematkan pada warga "Spektrum Autis" (SA), atau singkatnya: "autis".
Labeling semacam itu dalam beberapa hari belakangan ini membanjiri media cetak dan digital, menyusul kasus perundungan (bulliying) yang menimpa seorang warga autis, mahasiswa Universitas Gunadarma, Depok.
Pelabelan warga autis semacam itu menurut hemat saya tidak tepat, salah kaprah, dan berisiko menyebabkan kesesatan dalam interaksi dengan warga autis.
Label "difabel" dan "berkebutuhan khusus" itu praktis, secara sepihak, menempatkan warga autis sebagai individu-individu abnormal secara sosio-psikologis. Karena itu mereka perlu ditangani secara khusus, agar bisa berkembang paling tidak mendekati "normal".
Maka tidak heran bila yang datang ke Universitas Gunadarma, untuk merespons kasus perundungan seorang warga autis di sana, antara lain adalah Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Kementerian Sosial. Sebab autisme dianggap sebagai abnormalitas psiko-sosial, sehingga "penyandang"nya harus direhabilitasi.
Label difabel dan berkebutuhan khusus itu berangkat dari pendefinisian psikologi tentang autisme. Secara umum psikologi mendefinisikannya sebagai "perilaku menutup diri terhadap dunia sosial untuk sibuk dengan pikiran dan tindakan sendiri".
Gejala yang tampak dari luar tentang warga autis antara lain menyendiri, miskin atau tanpa interaksi sosial atau komunikasi. Mereka cenderung merespons orang lain sebagai benda, bukan sebagai makhluk sosial. Maka orang yang menyebut diri "normal" kemudian melihat warga autis itu aneh, "tidak umum", menyimpang, atau singkatnya "abnormal".
Respons lembaga pendidikan terhadap warga autis dengan sendirinya juga merujuk definisi psikologi itu. Maka berkembanglah sekolah-sekolah eksklusif, atau sekolah untuk anak berkebutuhan khusus/spesifik. Tujuannya untuk membantu "penormalan" perilaku warga autis, agar mereka dapat berintegrasi pada masyarakat "normal". Dengan begitu, autisme seolah telah dilihat sebagai sejenis penyakit yang harus disembuhkan.
Pelabelan negatif eperti itu membentuk sikap superioritas pada orang "normal" dan pemaksaan "inferioritas" sosial pada warga autis secara sepihak. Tindakan sepihak semacam ini sejatinya sudah merupakan perundungan terhadap warga autis. Mereka direndahkan secara sosial. Itulah akar penyebab perundungan terhadap warga autis.
Jadi ini masalah hegemoni warga (yang melabeli diri) "normal" atas warga (yang dilabeli) "abnormal". Tanpa kesudian menilai ulang, bahwa yang disebut "normal" itu sejatinya mengandung "abnormalitas" juga.
Banyak contoh bisa disebut. Calon kepala daerah menggoreng isu ras dan agama demi memenangi kontestasi Pilkada, itu abnormal tapi pelakunya disanjung sebagai pemenang. Anggota DPR atau pejabat menggarong uang negara. Itu abnormal, tapi pelakunya cuma disebut koruptor. Aktivis agama garis keras meledakkan bom bunuh diri, itu abnormal tapi pelakunya cuma dicap teroris. Mengklaim diri sebagai ahli waris surga sementara orang lain kafir, itu abnormal tapi pelakunya disebut tokoh agama.