Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ada "Pusat" dan "Pinggiran" di Kompasiana?

12 Oktober 2016   10:23 Diperbarui: 12 Oktober 2016   11:52 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada gejala struktural “pusat-pinggiran” di Kompasianival (K’val) 2016. Itu simpulan yang terbersit di benak saya selepas membaca laporan rekan Pebrianov (Peb) terkait perilaku “menyimpang”-nya saat hadir di hajatan itu (“Dua Dunia di Kompasianival 2016 dan Permintaan Maaf Saya”, K.10.10.16). 

Berdasar pengamatan partisipatifnya, Peb mengungkap kehadiran dua dunia di K’val 2016 tempo hari. Dunia pertama adalah dunia “pembicara-pendengar” yang formal-hirarkis dan terencana (seremoni-agenda). Ada tokoh pembicara yang “superior” di atas panggung, dan warga Kompasianer (K’er) pendengar yang “inferior” di bawah. Pembicaraan cenderung searah, didominasi tokoh, karena hanya ada kesempatan sempit untuk respon pendengar.  

Dunia kedua adalah dunia “saling bicara dan dengar” yang informal-egaliter dan spontan (non seremoni-agenda). Wujudnya kelompok obrolan yang mendaulat setiap K’er sebagai pembicara sekaligus pendengar. Tidak ada tokoh superior dan warga inferior.

Dalam prakteknya di ajang K’val 2016, “dunia pertama” itu ada di tengah-tengah balairung (hall) Smesco. Dia  menjadi “pusat” (center) perhelatan, menjadi kegiatan utama yang dirancang untuk mengikat perhatian K’er.

Sementara “dunia kedua” ada di garis tepi balairung, menjadi “pinggiran” (periphery) yang terbentuk spontan di luar “dunia pertama” tadi. Bentuknya kelompok-kelompok obrolan yang cair, lengkap dengan aksi-aksi spontan seperti saling ledek, saling memuji, tukar info,  terbahak massal, sampai wefie gaya udik. Kelompok-kelompok itu tersebar di pinggiran, entah itu di pojokan kosong atau di sekitar lapak sponsor, atau di lobby dan teras, atau bahkan di warteg sebelah gedung. “Dunia kedua” ini terbentuk dan bubar spontan di luar kuasa “event organizer” K’val.

Untuk dengan cepat bisa menilai perbedaan dua dunia itu, lihat saja foto-foto event K’val kemarin. Foto dari “dunia pertama” adalah pose-pose “beku” yang menandakan adanya “jarak sosial”. Sedangkan foto-foto dari “dunia kedua” adalah pose-pose “cair” yang mencerminkan kesetaraan sekaligus “kegilaan”.

Jika dikaji lebih dalam, tapi di sini dangkal saja, akan terlihat bahwa “dunia pertama” itu lebih condong sebagai “ajang sharing”, dalam arti ada tokoh berbagi cerita. Sedangkan “dunia kedua” lebih condong sebagai “ajang sharing and connecting”, dalam arti saling sambung rasa dan saling berbagi. Jelas jiwa Kompasiana lebih hidup di “dunia kedua” ini ketimbang di “dunia pertama” itu. Dengan kata lain, “dunia kedua” adalah “ajang kopi darat K’er yang sebenarnya”. Sedangkan “dunia pertama” adalah “ajang kuasa Organizer/Manajemen K”.

Dalam peristilahan sosilogis, gejala “dunia pertama” dan “dunia kedua” tadi bisa dikonsepsikan sebagai gejala struktur “pusat – pinggiran” (center – periphery). “Dunia pertama” sebagai pusat dan “dunia kedua” sebagai pinggiran.  Dalam konteks keseluruhan event K’al, “pinggiran” itu tak bersambung pada “pusat”, kecuali dalam fungsi sebagai “penggembira”. Tapi justru “pinggiran” itulah sebenarnya hidup jiwa Kompasiana, ajang “sharing and connecting” yang sejati. Sayangnya, dunia ini rupanya kurang diapresiasi Manajemen K.

Saya pikir gejala struktur pusat-pinggiran itu penting menjadi perhatian Manajemen K. Tidak saja dalam kaitan K’val, tapi dalam konteks “struktur sosial” Kompasianer. Ketika ada ribut-ribut soal Kompasianer “anak emas Admin K” atau “pelanggan HL/NT”, yang terpikir oleh saya sebenarnya adalah gejala pusat-pinggiran itu. Disadari atau tidak, ada mekanisme dalam Kompasiana yang menempatkan sejumlah Kompasianer sebagai “kelompok pusat”, yang selalu muncul di ruang utama (Hlt, NT, HL) setiap minggu, bahkan ada yang tiap hari. Sementara  sebagian besar Kompasianer terposisikan di ruang pinggir, paling tinggi Hlt, itupun jarang. Tapi mereka inilah sesungguhnya yang memberi hidup pada Kompasiana, melalui kesetiaan membaca dan berkomentar.

Kompasianer “kelompok pusat” itu lazimnya adalah kelompok eksis juga, yang kerap hadir dalam berbagai event kumpul-kumpul yang diselenggarakan Kompasiana. Jika disurvei, kemungkinan mayoritas peserta K’val adalah “kelompok pusat” ini. Ndilalah, dalam konteks K’val itu, sebagian dari mereka rupanya mengidentifikasi diri sebagai “orang pinggiran” juga, semisal Peb tadi. “Orang pinggiran” yang agaknya menolak elitisme di Kompasiana.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi K’val atau Kompasiana. Pesan utama yang hendak disampaikan adalah dorongan kepada semua K’er dan Admin K, agar bisa membangun Kompasiana dan K’val yang lebih egaliter, lebih partisipatif, dan setia pada motto “sharing and connecting”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun