Tapi tesis "Jakarta kuburan bahasa Batak" mungkin sedikit berlebihan. Sebab masih ada sedikitnya tiga institusi kebatakan yang mempertahankan penggunaan bahasa Batak di Jakarta.
Pertama, upacara adat Batak. Entah itu upacara adat kelahiran, perkawinan, ataupun kematian. Semuanya masih menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa pengantar.Â
Sekaligus upacara adat itu mempertahankan Dalihan Natolu, tatanan sosial asli orang Batak: hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (saudara sedarah), dan boru (penerima istri).
Kedua, perkumpulan semarga. Di Jakarta eksis begitu banyak punguan marga anu dohot boru/bere --Â perkumpulan marga anu dengan boru/bere (bere, keturunan boru).
Perkumpulan-perkumpulan Batak semarga itu kerap mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan-pertemuan itu bahasa Batak lazim digunakan sebagai bahasa pengantar.
Ketiga, gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Salah satu kekhasan HKBP adalah penggunaan bahasa Batak Toba sebagai bahasa ibadah/liturgi. Memang di Jakarta kini ada juga gereja HKBP yang memberi layanan ibadah berbahasa Indonesia. Tapi ibadah dalam bahasa Batak tetap yang pertama dan utama.
Tiga institusi khas Batak Toba itu boleh dibilang sebagai benteng terakhir bahasa Batak di parserahan, tanah rantau, termasuk di Jakarta secara khusus.
Hasahatan
Lantas apa yang bisa disimpulkan?
Di kalangan orang Batak Jakarta, eksistensi bahasa Batak sebagai bahasa kerja, pergaulan, dan keluarga batih cenderung melemah atau memudar.
Namun, berkat kehadiran institusi-institusi kebatakan, bahasa Batak masih tetap bertahan sebagai bahasa adat dan ibadat.
Bagaimanapun, kesimpulan di atas harus dianggap sebagai hipotesis. Masih perlu diuji lewat sebuah riset sosial saintifik.