Walau bukan mukjizat tapi perjumpaan dengan sosok Bunda Teresa, Santa dari Kalkuta, India tetaplah sebuah karunia tak terduga bagiku.
Aku sedang pulang ke almamaterku, Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematang Siantar. Di sekolah calon pastor Katolik ini kuinjakkan kaki untuk pertama kalinya setengah abad lalu sebagai murid SMP. Kini, setelah meninggalkannya selama 47 tahun, aku berdiri lagi di tempat yang sama.
Bukan sebuah pulang yang acak. Bertiga dengan dua orang teman, sesama eks-seminari, atas prakarsa Paguyuban Gembala Utama dan Pastor-pastor SMCS aku datang ke situ untuk pendampingan literasi digital bagi adik-adik seminaris. Mereka adalah Generasi Z, anak-anak Grammatika dan Syntaksis, kelas 1 dan 2 SMA.
Sabtu sore di sela-sela kesibukan pendampingan itu -- 31 Mei-2 Juni 2024 -- aku menyempatkan diri mampir ke kapel seminari. Berdoa sambil mengenang masa lalu, itu saja intensiku sebenarnya. Sebab dulu, 1973-1974, aku dan teman-teman setiap hari melakoni doa pagi, senja, dan malam di situ.
Seusai berdoa, aku melayangkan pandangan ke sekeliling interior kapel tua itu. Ada kejutan pemandangan yang berbeda dari 50 tahun lalu. Motif kaca patri pada dinding belakang altar dan 14 lukisan peristiwa Jalan Salib pada dinding kiri dan kanan kapel dulu belum ada.
Dua karya disain interior kapel itu mengingatkanku pada seseorang. Dialah Pastor Philipus, OFM Cap, guru seni rupa yang mengajariku semasa SMP di SMCS dulu. Kedua karya itu, tak kuragukan lagi, adalah hasil sentuhan tangan pastor seniman asli Belanda itu.
Pastor Philipus adalah perupa ekspresionis. Karya-karya lukis dan patungnya selalu memancarkan emosi subyektif yang sangat kuat. Ditandai oleh goresan garis yang tegas dan penggunaan warna-warna yang kontras. Ditambah dengan penggambaran yang bersifat deformatif, karya-karyanya tampak dramatis.
Setidaknya begitulah yang kurasakan saat mengamati karya-karya seninya di dalam kapel SMCS. Karya-karya yang belum ada di sana saat aku meninggalkan tempat itu tahun 1976.Â
Roh Kudus dan Para Malaikat
Sabtu sore itu, duduk sendiri di bangku belakang kapel, aku bukan saja mendapatkan pengalaman rohaniah yang nostalgik. Tapi juga suasana doa yang terasakan indah sekaligus dramatis.