Hanya di Kaldera Toba, sebuah terusan menyatukan dua sisi danau, sekaligus menciptakan sebuah pulau yang eksotis.
Sampai tahun 1910, Pulau Samosir bukanlah sebuah pulau, daratan yang dikelilingi air. Dia hanyalah sebuah semenanjung yang menjorok dan menggembung serupa buah nangka dari kaki Gunung Pusukbuhit, di sisi barat Kaldera Toba.
L.C. Welsink, Residen Tapanuli era koloniallah yang berinisiatif menyulap Samosir jadi pulau. Dia memerintahkan kerja rodi pada tahun 1907 untuk menyodet tanah genting, semacam "tangkai buah nangka" di sisi barat Pangururan.
Saat "tangkai" itu putus tiga tahun kemudian, air danau dari sisi utara dan selatan tanah genting saling bertemu, membentuk sebuah kanal. "Buah nangka" Samosir pun dikelilingi air. Dia resmi menjadi sebuah pulau.
Terhitung sejak 1910, genap sudah terusan Tano Ponggol kini berusia 114 tahun. Peruntukan dan kondisinya telah mengalami banyak perubahan dalam rentang masa itu.
Wilhelminakanaal, Hadiah Ulang Tahun Ratu Belanda
Segera setelah Perang Batak berakhir, ditandai oleh tewasnya Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907, pemerintah kolonial Belanda mulai memusatkan upaya politiknya pada penguasaan penuh atas seluruh kawasan Kaldera Toba.Â
Keberadaan tanah genting di Pangururan segera tampil menjadi salah satu kendala mobilitas pasukan dan perbekalan dari sisi selatan (Balige) ke utara (Tongging) waktu itu. Untuk melewati area itu, perahu harus diseret dari sisi selatan ke utara Pangururan. Sama sekali tak efisien.Â
Karena itu L.C. Welsink, Residen Tapanuli (1898-1908) tahun 1907 mengambil inisiatif untuk mengerahkan rodi menggali terusan yang menyodet tanah genting itu. Bukan hal mudah karena adanya penolakan dari masyarakat Samosir. Warga takut semenanjung Samosir akan tenggelam jika tanah genting itu disodet.