Ketika UNESCO memberi "kartu kuning" untuk Geopark Kaldera Toba (GKT) pada September 2023 lalu, ketakreprentatifan organisasi Badan Pengelola GKT (BPGKT) itu disebut sebagai salah satu kekurangannya.
Implisit di situ, pemimpin organisasi BPGKT tersebut juga takrepresentatif, atau setidaknya kurang representatif. Artinya tidak eligibel sebagai pimpinan BPGKT.
Boleh-boleh saja pimpinan BPGKT membela diri, atau bahkan membantah. Tapi "kartu kuning" dari UNESCO adalah indikator paling obyektif bahwa BPGKT tidak melakukan program aksi yang signifikan sejak 2020.
Implisit pihak UNESCO menganjurkan reorganisasi BPGKT, termasuk di situ opsi pergantian pimpinan. Sebab sudah terbukti BPGKT gagal menjalankan program aksi yang direkomendasikan UNESCO tahun 2020. Tak ada jaminan BPGKT yang sama akan mampu menjalankan rekomendasi UNESCO untuk menghindari "kartu merah".
Ringkasnya, tanpa reorganisasi BPGKT, dan pergantian pimpinan, kemungkinan besar GKT akan mengalami kemunduran. Risikonya UNESCO akan menjatuhkan "kartu merah". Dengan kata lain, GKT dikeluarkan dari keanggotaan Geopark Global UNESCO.
Tapi, entah kenapa, sudah empat bulan berjalan sejak "kartu kuning" dijatuhkan, belum juga ada inisiatif Gubernur Sumatera Utara (Sumut) untuk mereorganisir BPGKT dan mengganti pimpinannya.
Karena itu, sambil mendorong langkah reorganisasi BPGKT, ijinkan saya memberi masukan untuk pelaksanaannya.
Organisasi "Double Peripheral"
Masalah utama organisasi BPKGT, yang membuatnya takrepresentatif, juga jadi lemah dan sulit bergerak, adalah statusnya yang bersifat double periflpheral. Penjelasannya begini.
Pertama, BPGKT periferal terhadap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumut.Â