"Manusia bertanya-tanya, bebatuan menyimpan jawabannya." -Felix Tani
Semasa kanak-kanak, Â aku percaya "Batu Gantung" pada dinding Kaldera Toba di kampung Sibaganding itu adalah seorang gadis Batak yang membatu dalam upaya bunuh diri. Dia lari dari rencana kawin paksa dengan lelaki pilihan orangtuanya.
Begitulah sebuah legenda mengunci pikiranku. Waktu itu setiap kali melintasi jalan raya di atas "Batu Gantung" itu, dalam perjalanan naik bus dari Toba ke Sumatera Timur dan sebaliknya, bayangan seorang gadis cantik yang malang muncul dalam benakku.Â
Dalam imajinasiku, ada seorang gadis cantik berdiri di bibir tebing batu. Lalu dia terjun ke danau untuk menjemput kematiannya. Tapi air danau menolak tubuhnya. Maka rambut panjang gadis itu tersangkut pada celah batuan di dinding kaldera. Dia tergantung lalu membatu di situ.Â
Saat menginjak bangku SMA di akhir 1970-an, aku tak percaya lagi "Batu Gantung" itu ujud gadis cantik yang membatu akibat takdir alam. Aku sadar itu adalah tonjolan batu yang terbentuk lewat proses geologis ribuan tahun lalu. Â Sama seperti bongkah-bongkah batu raksasa yang tersingkap pada dinding kaldera di atas jalan raya ruas Sibaganding - Parapat.Â
Pemandangan singkapan batuan seperti di Sibaganding itu jamak di lingkar Kaldera Toba. Â Aku pernah turun ke lembah Haranggaol dan Tongging di utara Danau Toba. Â Juga ke lembah Silalahi dan Pangururan di sebelah barat serta Muara di baratdaya . Â Sepanjang jalan yang berkelok-kelok dari atas sampai dasar lembah, aneka singkapan batu adalah pemandangan yang lazim.
Bisa dikatakan orang Batak (Toba, Pakpak, Karo, Simalungun) yang bermukim di Kaldera Toba hidup di antara dan atau di atas batu yang tertutup debu vulkanik ribuan tahun lalu. Batu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekologi manusia di kaldera itu.
Namun warga kaldera umumnya tak menyadari batu-batu itu  menyimpan data atau informasi riwayat Kaldera Toba. Beruntung para ahli geologi dan vulkanologi, lewat riset yang ketat dan teliti, telah berhasil menyuruh batu-batu itu berkisah. Sehingga riwayat terbentuknya kaldera menjadi terang-benderang.
Batu-Batu Berbicara
Semenjak Kaldera Toba ditetapkan sebagai geopark nasional (2014), dan terlebih kemudian sebagai geopark global UNESCO (2020), bebatuan di sana telah mendapatkan makna baru.
Sebuah geopark pada dasarnya tegak di atas tiga keragaman (diversity). Pertama, keragaman geologis bentukan peristiwa alam. Kedua, keragaman biologis yang hadir dan berkembang di atas keragaman geologis. Ketiga, keragaman budaya komunitas sosial yang membentuk ekologi manusia di atas keragaman geologis dan biologis itu.