"Pakai logika. Gibran punya hak untuk dipilih sebagai wapres, pemilih punya hak pilih untuk memilih atau tak memilih seseorang menjadi wapres."
Suhu politik Pilpres 2024 kini sedang naik. Hampir mencapai titik didih. Makin sumuk karena di Jakarta gak kunjung turun hujan.
Gara-garanya putusan MK dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 menetapkan batas minimal usia capres/cawapres 40 tahun atau "pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Putusan itu MK itu semacam "tol politik" bagi Gibran Rakabuming Gibran (36), Walikota Solo, anak sulung Presiden Jokowi untuk menjadi cawapres jika, dan hanya jika, dipinang oleh Prabowo Subianto, capres kubu KIM.
Kenapa cawapres untuk Prabowo? Ya, karena dari tiga capres hanya Prabowo yang naksir berat pada Gibran untuk jadi cawapresnya. Alasannya? Mungkin untuk mendulang suara, memanfaatkan efek "ekor jas" dari kepopuleran Jokowi. Atau mungkin karena alasan lain.
Peluang besar Gibran menjadi cawapres lewat "tol politik" itu segera memicu resistensi politik. Terutama dari politisi kubu PDIP, pengamat politik, dan anasir-anasir oposan dan pro Jokowi. Alasannya putusan MK berbau nepotisme, cacat hukum, dan memfasilitasi dinastisasi politik, dan sebagainya.
Tapi kenapa sih harus resisten? Kan Gibran tidak melanggar hukum. Jika dia akhirnya menjadi cawaores bagi Prabowo, maka itu hak politiknya yang dijamin hukum -- putusan MK tadi.
Di negara ini hal-hal yang sejajar dengan itu sudah lama ada. Sangat jamak malahan.
Coba baca PKPU No. 7 Tahun 2022, tentang syarat pemilig dalam Pemilu. Di situ ditetapkan syarat pemilih adalah
genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.
Jadi, biarpun usianya 15 tahun, asal sudah kawin atau pernah kawin (janda/duda) otomatis berhak menjadi pemilih. Artinya "pengalaman kawin" adalah privilese untuk mendapatkan hak pilih.