"Gara-gara ulat goreng, anak kota terheran-heran sementara anak desa bertanya-tanya."
Semua gara-gara ulat turi goreng yang viral. Itu lauk makan siang Andik, siswa SD Meguri V, Margomulyo Bojonegoro. Fotonya dibagikan Pak Jumangin, wali kelasnya, yang terheran-heran melihat muridnya makan lauk ulat turi goreng.
Viral, dunia maya riuh. Anak kota terheran-heran: "Emang boleh makan ulat, gitu?" Sebaliknya anak desa bertanya-tanya: "Emang boleh heran, gitu?"
Itu cermin miskinnya pengetahuan anak kota tentang makanan berprotein tinggi. Tahunya karbo, karbo, dan karbo lagi. Tiada hari tanpa fast food.
Aku teringat pengalaman masa kanak-kanak tahun 1960-an di Tanah Batak sana. Pengalaman makan sajian alam. Hewan, buah-buahan, daun-daunan, dan akar-akaran.Â
Ulat enau adalah salah satu yang ternikmat. Selain kumbang aren, kumbang pisang, jangkrik, belalang, orong-orong, laron, capung, dan larva capung.
Orang Batak menyebut ulat enau itu hudi atau bangkudu. Ada satu baris dalam lagu Na Hinali Bangkudu gubahan Nahum Situmorang yang menjelaskan cara mendapatkannya: Na hinali bangkudu da sian bona ni bagot. Artinya: Ulat enau digali dari batang aren.
Ya, aku dan teman-teman sekampung dulu mencari ulat enau di dalam batang enau yang sudah tumbang dan membusuk. Caranya, batang enau itu dibelah. Nah, ketemulah ulat-ulat putih gemuk di dalamnya. Kami petikilah itu ulat. Lalu ditusuki dengan lidi enau, sebelum kemudian dipanggang di atas bara api. Jadilah sate ulat enau.
Rasanya? Hmm, nikmat tiada dua. Gurih sekali. Sensasi nimat cairan putih hangat di dalam ulat itu sudah dilupakan.
Sebenarnya bukan hanya ulat enau. Sejatinya ulat itu adalah larva kumbang enau. Nah, kalau kebetulan mendapat kumbang, aku dan teman-teman juga memanggangnya untuk dimakan. Rasanya? Hmm, mirip-mirip rasa daging udang, sepertinya.