Beberapa hari lalu kompasianer Fatmi Sunarya mengeluh keras. "K-Rewards gak adil, blas!" Kira-kira begitu intinya.
Dia mengeluhkan angka di samping kanan simbol mata di bawah judul artikel kompasiana. Itu menipu, katanya. Hoaks. Tak menggambarkan jumlah unique views (UV)Â Google Analytics yang boleh diganjar pranowo K-Rewards. "Hapus aja itu!" Bu Fat mangkel.
Sejumlah kompasianer mendukung penghapusan simbol "mata" itu. Bisa dipahami, sih. Siapa juga yang suka dipelototi. Atau dimata-matai.Â
Inti kritik Bu Fat itu kisah klasik sebenarnya. K-Rewards tidak sesuai dengan Sila ke-5 Pancasila. Hanya mengganjar pranowo artikel dengan UV tertinggi menurut Google Analytics. Bukan berdasar kualitas artikel.Â
Ada yang salah di situ? Gak juga. Harus diingat Kompasiana itu hidup dari views. Semakin besar views, semakin besar iklan dan mitra masuk, semakin besar pendapatan, semakin terjamin gaji Admin, semakin langgeng Kompasiana.
Sesederhana itu, kawan. No bees no honey, no views no money.Â
Itu artinya apa? Walau Bu Fat menulis one article per one day dan semua HL karena dinilai bermutu, jangan harap bakal dapat K-Rewards jika total UV Google Analyticsnya di bawah 3,000 UV. Kasihan deh, lu, Mutu.
Sebaliknya jika Felix Tani yang kenthir itu menulis puisi palsu tentang ijazah palsu Jokowi, atau puisi-puisian pantun sindiran Butet Kartarajasa. Â Eh, it works, dapat K-Rewards lumayan banyak. Karena yang baca ternyata mbludak. Sampai-sampai puisiwan Ayah Tuah pingsan njeblak.
Kata rekan kompasianer Suyono Apol, Felix Tani itu nulis artikel abal-abal demi viralitas dan K-Rewards. Dia terlalu jujur dan benar belaka. Tapi itu fungsi manifes saja, sebatas yang tampak di permukaan.
Fungsi latennya adalah kritik satiris terselubung. Bahwa jika kamu doyan uang, tulislah artikel kaleng-kaleng yang potensil viral. Berita-berita dengan judul bom nuklir tapi isinya mercon rawit di medol adalah contoh bagus.