Barulah setelah di jenjang SMA pada paruh kedua 1970-an, saat berlakunya Kurikulum 1975, saya bertemu dengan tipe soal B-S dan A-B-C-D. Bahkan ada juga soal SEBAB-AKIBAT yang bikin mumet.
Soal SEBAB-AKIBAT itu sangat bagus untuk menguji logika. Tapi, jujurly, bener-bener bikin puyeng. Masalahnya waktu itu tidak ada mata pelajaran "Logika" di SMA.
Ketika menjadi mahasiswa pada awal 1980-an, saya juga masih mengalami model ujian pilihan ganda. Soal macam itu diterapkan pada mata kuliah dasar umum yang pesertanya mbludak sampai ratusan mahasiswa.Â
Untuk kelas besar, pilihan ganda memang pilihan alat ukur yang paling efisien dan efektif dibanding esai. Bayangkan bila seorang dosen harus memeriksa jawaban soal esai dari 100 orang mahasiswa. Semua (wajib) tulis tangan. Beuh, otaknya pasti overheating.Â
Sampai sini, saya pikir pertanyaan tadi sudah terjawab. Ya, peralihan dari ujian pilihan ganda ke esai itu memang sebuah lompatan gagasan. Tapi bukan lompatan ke depan, melainkan ke belakang. Sebuah lompatan ke masa lalu, ke model ulangan sekolah tahun 1960-an atau sebelumnya.
***
Di perguruan tinggi, saya mengalami ujian esai setelah masuk penjurusan kuliah, tahun kedua dan seterusnya. Lazim diberlakukan untuk mata kuliah keahlian (MKK) yang jumlah pesertanya kecil, sekitar 30-40 orang.Â
Pada hakikatnya ujian esai itu semacam penulisan ringkasan makalah. Jawaban satu pertanyaan essai sejatinya bisa saja menjadi satu makalah kecil (5-10 halaman).
Tapi lazimnya selalu diberi batasan panjang jawaban. Misalnya maksimal setengah halaman kuarto. Itu lazim diakali dengan memperkecil ukuran tulisan. Tapi harus jelas dan terbaca. Kalau tidak, maka dianggap salah.
Dengan membatasi panjang jawaban maka peserta ujian esai dituntut menjawab soal secara sistematis. Harus logis dan argumentatif, langsung pada intinya. Pilihan kata dan struktur kalimat karena itu harus efisien dan efektif.