Sumpah! Saya gak tahu kalau isu format ujian esai (essay) lagi viral. Kata kompasianer Tunjung EW, dalam artikel "Menghapus Pilihan Ganda menjadi Essai, Lompatan Ide dalam Kurikulum Merdeka?" (K. 19/9/2023), hal itu gara-gara Maudy Ayunda.
Kata Maudy, pesohor cerdas itu, kalau menjadi Mendikbud maka dia akan mengubah model asesmen kinerja akademik dari soal pilihan ganda menjadi esai. Tujuannya agar pelajar Indonesia terlatih berpikir kritis dan argumentatif.
Itu bagus sekali. Tapi kalau cuma itu motifnya, tak perlu lagilah Maudy menjadi Mendikbud. Sebab dalam Kurikulum Merdeka sekarang, model asesmen esai itu sudah diterapkan. Terimakasih Mas Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Persoalannya, seperti dipertanyakan Mas Tunjung, apakah perubahan ke soal essai itu semacam lompatan gagasan? Dan apakah implikasinya terhadap pola ajar di sekolah telah diantisipasi?
***
Saya akan menjawab pertanyaan pertama lebih dulu. Bukan jawaban normatif, tapi faktual berdasar pengalaman sendiri sebagai pelajar dan pengajar.
Seingatku, waktu SD dan SMP pada paruh kedua 1960-an sampai paruh pertama 1970-an, saya tak pernah mendapat soal pilihan ganda saat ulangan. Semua soal yang diberikan guru kalau bukan esai, ya, semi-esai alias mengisi "titik-titik". Atau campuran keduanya.Â
Soal-soal ulangan pelajaran Bahasa Indonesia/Inggris/Latin, Sejarah, Agama, Civic/Pancasila, Berhitung/Ajabar, Ilmu Hayat/Biologi, Ilmu Ukur, dan Fisika semua bentuk essai/semi-esai.
Karena itu, dulu saya dan teman-teman tidak bisa menjawab soal ulangan dengan modal hitung kancing baju. Benar, salah, benar, salah, benar nah jawabannya "B". Atau A, B, C, D, A nah, jawabannya "A".
Atau karena tak belajar, soal dijawab dengan cara melingkari "B" semua pada soal B-S dan "A" semua pada soal A-B-C-D. Cara itu katanya bisa menghasilkan jawaban benar minimal 50 persen pada soal B-S dan 25 persen pada soal A-B-C-D. Entahlah, saya belum pernah coba.