"Bila bertemu dengan mahasiswa yang malas berpikir, ingin rasanya aku kembali ke masa sekolah dasar tahun 1960-an, saat guru boleh menggetok jidat murid lelet atau menjewer telinganya." -Felix Tani
Cukup sudah drama skripsi di ujung masa kuliah. Dengan dua pemeran utama: mahasiswa si protagonis dan dosen pembimbing si antagonis. Kebijakan opsional tugas akhir kuliah, antara skripsi atau non-skripsi, mungkin bisa menjadi solusi bagi para mahasiswa fobia skripsi. Â Tipe mahasiswa macam itu kadung menganggap skripsi sebagai teror. Dosen pembimbing adalah teroris dan mahasiswa adalah korban. Lebay? Memang!
Tapi Permendikbudristek 53/2023 secara tak langsung telah membela tipe mahasiswa fobia skripsi semacam itu. Atau sekurangnya memfasilitasinya. Peraturan itu telah berbaik sangka. Katanya, sebagaimana terungkap dalam implementasi Kampus Merdeka, sangat mungkin kompetensi mahasiswa fobia skripsi itu bukan teoretikal (skripsi) tapi praktikal (non-skripsi).Â
Karena itu, menurut aturan tersebut, tugas akhir mahasiswa untuk pembuktian kompetensi tak mesti skripsi. Tapi bisa juga non-skripsi seperti proyek, rencana bisnis, inovasi teknologi, dan karya seni. Baiklah. Lakukan saja begitu. Asalkan tugas non-skripsi itu tak mengkhianati kriteria kompetensi saintifik, nilai unggul sarjana.
Tulisan ini memusatkan perhatian pada skripsi saja. Bentuk tugas akhir ini sekarang seakan menjadi biang kendala kelulusan mahasiswa sampai-sampai tumbuh bisnis "joskrip" (joki skripsi) sebagai solusi instannya.
"Sokorin lu, Skrip! Lu gak wajib lage!" Mahasiswa fobia skripsi menyokorin nasib skripsi.Â
Kasihan banget itu skripsi, ya. Seakan-akan dia semacam public enemy di perguruan tinggi. Sayangnya, penilaian negatif tentang skripsi justru diglorifikasi. Seolah-olah skripsi gak ada gunanya, kecuali untuk mempersulit kelulusan mahasiswa.Â
Pernahkah dipikir secara kritis bahwa penilaian itu datang dari mahasiswa fobia skripsi atau sekurangnya, mahasiswa yang memang mengalami kesulitan dengan skripsi?
Sebagai pengimbang, saya akan berbagi pengalaman soal skripsi itu. Kali ini dari sudut pandang seorang dosen pembimbing, berdasarkan pengalaman pribadi. Juga berdasarkan pengamatan atas pengalaman rekan sejawat. Saya akan fokus pada persoalan sejumlah kecil mahasiswa yang mengalami proses penyusunan skripsi serupa drama tragedi.Â
Kelemahan Penguasaan Bahasa Indonesia
Drama skripsi itu berpangkal pada dua kelemahan dasar mahasiswa. Kelemahan dalam penguasaan bahasa Indonesia dan penguasaan metode penelitian.Â
Kita bicara soal kelemahan penguasaan bahasa Indonesia lebih dulu. Bukan sebagai bahasa lisan dalam komunikasi sehari-hari, tapi sebagai bahasa sains, alat berpikir ilmiah dan pengungkapan pikiran saintifik secara tertulis.
Sangat mengherankan sekaligus memprihatinkan sebenarnya. Seorang mahasiswa, jika dihitung sejak masuk SD, sudah belajar Bahasa Indonesia secara formal selama 25 semester. Sebanyak 12 semester di SD, 6 semester di SMP, 6 semester di SMA, dan 1 semester di perguruan tinggi. Sebenarnya apa sih yang telah dipelajari selama 25 semester? Sehingga ada mahasiswa semester akhir masih melakukan kesalahan elementer dalam bahasa tulis saintifik? Betul-betul kesalahan elementer. Umumnya kesalahan berikut ini.
Pertama, pemindahan gaya bahasa lisan ke gaya bahasa tulisan mentah-mentah begitu saja. Akibatnya kosa kata informal atau percakapan sehari-hari masuk ke dalam bahasa ilmiah.
Kedua, pelanggaran kaidah struktur S-P-O-K, atau paling tidak S-P-O. Hal ini terlarang dalam penulisan ilmiah.
Berikut contoh untuk dua kesalahan elementer tersebut. Seorang mahasiswa menulis begini dalam proposal riset skripsinya: "Penelitian lokasinya di desa Cibulan dan lamanya dua bulan." Kata-kata "lokasinya" dan "lamanya" itu adalah kosa kata pembicaraan lisan informal. Tak lazim dalam tulisan ilmiah. Struktur kalimat itu pun tak benar karena tak punya predikat (P). Sebaiknya begini: "Penelitian dilakukan di Desa Cibulan selama dua bulan."
Ketiga, paragraf yang amburadul karena tak mengandung ide pokok dan ide penjelas secara spesifik. Kadang terbaca ide pokok semua atau sebaliknya, ide penjelas semua. Ibaratnya jemari tangan "jempol semua" atau "kelingking semua".Â
Keempat, penggunaan kalimat-kalimat yang bulky atau bertele-tele, jauh dari syarat efisiensi dan efektivitas. Sering terjadi satu paragraf adalah satu kalimat sangat panjang yang membingungkan. Dipikirnya bahasa ilmiah itu dicirikan kalimat-kalimat panjang.
Bisa dibayangkan betapa lelahnya saya bila mendapat mahasiswa bimbingan skripsi dengan kualitas bahasa amburadul. Saya harus kerja rangkap: pembimbing materi skripsi dan bahasa ilmiah sekaligus. Sementara honor pembimbingan gak naik-naik.
Kelemahan mahasiswa dalam berbahasa ini kerap menjadi isu dramatis. Skripsi bolak-balik dicorat-coret dosen pembimbing karena bahasanya kacau-balau. Mahasiswa stres, dosen pembimbing naik darah. Kombinasi yang mematikan.
Kelemahan Penguasaan Metode Riset
Lazimnya metode riset diajarkan kepada mahasiswa selama dua semester. Satu semester kuliah pengantar metode riset dan satu semester lagi metode riset spesifik program studi.Â
Sewaktu mengajar di sebuah perguruan tinggi di Bogor, mahasiswa di program studi saya mendapat kuliah metode penelitian kuantitatif (survei) satu semester. Kemudian metode penelitian kualitatif satu semester lagi. Saya mengajarkan dua mata kuliah itu, tapi kemudian fokus pada penelitian kualitatif.
Apakah itu cukup? Harusnya sih cukup untuk aras S1. Tentu dengan catatan dosen pembimbingnya juga mumpuni di bidang metode riset. Kalau tidak, yah, alamat nightmare, deh.
Kelemahan mahasiswa dalam metode riset ini bisa menjadi biang kegagalan dalam penulisan skripsi. Itu menjadi momok juga bagi dosen. Kalau sampai mahasiswa bimbingannya gagal, dia akan mendapat label dosen gak becus. Itu menyakitkan.
Kelemahan penguasaan metode riset itu juga bersifat elementer. Saya mencatat tiga kekemahan berikut.
Pertama, kelemahan dalam alur logika deduktif dan induktif. Akibatnya mahasiswa lemah dalam penarikan kesimpulan hipotetis (deduksi, dari umum ke khusus) dan kesimpulan empiris (induksi, dari khusus ke umum).
Sering terjadi mahasiswa mengutip berbagai teori-teori besar dan meso, serta hasil riset terdahulu, dalam tinjauan pustaka. Tapi pas masuk pada perumusan hipotesa uji (kuantitatif) atau hipotesa pengarah (kualitatif), gak ada kaitannya sama sekali. Istilahnya, "kepala buaya ekor cicak", alias inkonsisten. Atau "Jaka Sembung bawa golok, gak nyambung ... (lanjutkan sendiri)."
Hal seperti itu bisa bikin dosen naik pitam kalau, setelah berulang kali konsultasi, gak ada perbaikan signifikan.Â
Kedua, kelemahan analisis data riset. Ini dengan asumsi mahasiswa sudah berhasil mengumpulkan data yang valid atau kredibel. Sebab kalau tak begitu, berarti dosen pembimbing telah salah membiarkan mahasiswa turun lapang membawa rencana dan instrumen pengumpulan data yang kacau.
Sudah ada data, mahasiswa masih bertanya. "Ini data diapakan ya, Pak!" Astaga, Tuhan, tabahkanlah hati dosen pembimbing ini. Kaitannya dengan kelemahan kemampuan induktif tadi.Â
Sudah ada hipotesis (uji atau pengarah), data tersedia pula. Lha, mestinya kan tinggal membunyikan data. Lalu periksa apakah bunyinya bersifat membuktikan (verifikasi) atau membantah (falsifikasi) hipotesa.Â
Apa susahnya, sih? Ya, susah memang jika mahasiswa lemah dalam logika deduktif ataupun induktif. Akibatnya jadi malas mikir.
Nah, dosen pembimbing harus punya kesabaran ekstra "panjang kali lebar sama dengan luas" dalam kasus begituan. Itu bisa menyebabkan frekuensi konsultasi sampai belasan kali. Melewati kepatutan rata-rata 10 kali.
Mahasiswa tambah stres, dosen tambah naik darah. Dalam kasus semacam itu, terkadang saya ingin kembali ke masa SD tahun 1960-an, ketika guru boleh-boleh saja menggetok kepala atau menjewer kuping siswa yang malas mikir.
Ketiga, kelemahan dalam proses penulisan skripsi atau laporan riset. Ini kaitannya jelas dengan kelemahan penguasaan bahasa tulis Indonesia sebagai bahasa ilmiah.
Kekacauan dalam struktur kalimat dan paragraf, serta kaitan antarparagraf adalah cerminan kemiskinan logika pada mahasiswa. Sebab sebuah kalimat dan paragraf mestinya bersifat logis dan, karena itu, argumentatif.
Barangkali kekemahan itu untuk sebagian berakar juga pada intensi pengajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Seturut pengalaman kuliah dulu, fokus pengajaran lebih pada struktur kalimat, diksi dan gaya bahasa, serta ejaan. Â Tidak ada itu Bahasa Indonesia diajarkan sebagai bahasa saintifik. Ini baiknya menjadi perhatian.
Wasanakata
Merespons Permendikbudristek 53/2023, sudah banyak masukan agar tugas akhir skripsi tidak ditiadakan begitu saja. Lepas dari soal bisnis "joskrip", diakui luas bahwa skripsi sejauh ini masih menjadi pilihan alat ukur kompetensi ilmiah sarjana yang paling obyektif dan valid.
Jika ada drama-drama skripsi di perguruan tinggi, jangan buru-buru menyalahkan skripsinya, atau dosennya, atau mahasiswanya.Â
Tolong dievaluasi secara obyektif. Jangan-jangan kegagalan mahasiswa menyusun skripsi yang laik secara ilmiah adalah buah sistem perkuliahan yang terlalu sarat materi disiplin sains, tapi miskin metode riset dan bahasa saintifik.Â
Berdasar pengalaman pribadi, mahasiswa yang penguasaan metode riset dan bahasa sainsnya cukup baik relatif lancar dalam pengerjaan skripsi. Hasilnya bagus dalam arti bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tidak mempermalukan dosen pembimbing atau mendevaluasi kampus menjadi semacam "pabrik percetakan ijazah sarjana". (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H