Apakah itu cukup? Harusnya sih cukup untuk aras S1. Tentu dengan catatan dosen pembimbingnya juga mumpuni di bidang metode riset. Kalau tidak, yah, alamat nightmare, deh.
Kelemahan mahasiswa dalam metode riset ini bisa menjadi biang kegagalan dalam penulisan skripsi. Itu menjadi momok juga bagi dosen. Kalau sampai mahasiswa bimbingannya gagal, dia akan mendapat label dosen gak becus. Itu menyakitkan.
Kelemahan penguasaan metode riset itu juga bersifat elementer. Saya mencatat tiga kekemahan berikut.
Pertama, kelemahan dalam alur logika deduktif dan induktif. Akibatnya mahasiswa lemah dalam penarikan kesimpulan hipotetis (deduksi, dari umum ke khusus) dan kesimpulan empiris (induksi, dari khusus ke umum).
Sering terjadi mahasiswa mengutip berbagai teori-teori besar dan meso, serta hasil riset terdahulu, dalam tinjauan pustaka. Tapi pas masuk pada perumusan hipotesa uji (kuantitatif) atau hipotesa pengarah (kualitatif), gak ada kaitannya sama sekali. Istilahnya, "kepala buaya ekor cicak", alias inkonsisten. Atau "Jaka Sembung bawa golok, gak nyambung ... (lanjutkan sendiri)."
Hal seperti itu bisa bikin dosen naik pitam kalau, setelah berulang kali konsultasi, gak ada perbaikan signifikan.Â
Kedua, kelemahan analisis data riset. Ini dengan asumsi mahasiswa sudah berhasil mengumpulkan data yang valid atau kredibel. Sebab kalau tak begitu, berarti dosen pembimbing telah salah membiarkan mahasiswa turun lapang membawa rencana dan instrumen pengumpulan data yang kacau.
Sudah ada data, mahasiswa masih bertanya. "Ini data diapakan ya, Pak!" Astaga, Tuhan, tabahkanlah hati dosen pembimbing ini. Kaitannya dengan kelemahan kemampuan induktif tadi.Â
Sudah ada hipotesis (uji atau pengarah), data tersedia pula. Lha, mestinya kan tinggal membunyikan data. Lalu periksa apakah bunyinya bersifat membuktikan (verifikasi) atau membantah (falsifikasi) hipotesa.Â
Apa susahnya, sih? Ya, susah memang jika mahasiswa lemah dalam logika deduktif ataupun induktif. Akibatnya jadi malas mikir.
Nah, dosen pembimbing harus punya kesabaran ekstra "panjang kali lebar sama dengan luas" dalam kasus begituan. Itu bisa menyebabkan frekuensi konsultasi sampai belasan kali. Melewati kepatutan rata-rata 10 kali.