Kita bicara soal kelemahan penguasaan bahasa Indonesia lebih dulu. Bukan sebagai bahasa lisan dalam komunikasi sehari-hari, tapi sebagai bahasa sains, alat berpikir ilmiah dan pengungkapan pikiran saintifik secara tertulis.
Sangat mengherankan sekaligus memprihatinkan sebenarnya. Seorang mahasiswa, jika dihitung sejak masuk SD, sudah belajar Bahasa Indonesia secara formal selama 25 semester. Sebanyak 12 semester di SD, 6 semester di SMP, 6 semester di SMA, dan 1 semester di perguruan tinggi. Sebenarnya apa sih yang telah dipelajari selama 25 semester? Sehingga ada mahasiswa semester akhir masih melakukan kesalahan elementer dalam bahasa tulis saintifik? Betul-betul kesalahan elementer. Umumnya kesalahan berikut ini.
Pertama, pemindahan gaya bahasa lisan ke gaya bahasa tulisan mentah-mentah begitu saja. Akibatnya kosa kata informal atau percakapan sehari-hari masuk ke dalam bahasa ilmiah.
Kedua, pelanggaran kaidah struktur S-P-O-K, atau paling tidak S-P-O. Hal ini terlarang dalam penulisan ilmiah.
Berikut contoh untuk dua kesalahan elementer tersebut. Seorang mahasiswa menulis begini dalam proposal riset skripsinya: "Penelitian lokasinya di desa Cibulan dan lamanya dua bulan." Kata-kata "lokasinya" dan "lamanya" itu adalah kosa kata pembicaraan lisan informal. Tak lazim dalam tulisan ilmiah. Struktur kalimat itu pun tak benar karena tak punya predikat (P). Sebaiknya begini: "Penelitian dilakukan di Desa Cibulan selama dua bulan."
Ketiga, paragraf yang amburadul karena tak mengandung ide pokok dan ide penjelas secara spesifik. Kadang terbaca ide pokok semua atau sebaliknya, ide penjelas semua. Ibaratnya jemari tangan "jempol semua" atau "kelingking semua".Â
Keempat, penggunaan kalimat-kalimat yang bulky atau bertele-tele, jauh dari syarat efisiensi dan efektivitas. Sering terjadi satu paragraf adalah satu kalimat sangat panjang yang membingungkan. Dipikirnya bahasa ilmiah itu dicirikan kalimat-kalimat panjang.
Bisa dibayangkan betapa lelahnya saya bila mendapat mahasiswa bimbingan skripsi dengan kualitas bahasa amburadul. Saya harus kerja rangkap: pembimbing materi skripsi dan bahasa ilmiah sekaligus. Sementara honor pembimbingan gak naik-naik.
Kelemahan mahasiswa dalam berbahasa ini kerap menjadi isu dramatis. Skripsi bolak-balik dicorat-coret dosen pembimbing karena bahasanya kacau-balau. Mahasiswa stres, dosen pembimbing naik darah. Kombinasi yang mematikan.
Kelemahan Penguasaan Metode Riset
Lazimnya metode riset diajarkan kepada mahasiswa selama dua semester. Satu semester kuliah pengantar metode riset dan satu semester lagi metode riset spesifik program studi.Â
Sewaktu mengajar di sebuah perguruan tinggi di Bogor, mahasiswa di program studi saya mendapat kuliah metode penelitian kuantitatif (survei) satu semester. Kemudian metode penelitian kualitatif satu semester lagi. Saya mengajarkan dua mata kuliah itu, tapi kemudian fokus pada penelitian kualitatif.