Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Drama Skripsi dari Sudut Pandang Dosen Pembimbing

7 September 2023   15:59 Diperbarui: 7 September 2023   18:49 3734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bila bertemu dengan mahasiswa yang malas berpikir, ingin rasanya aku kembali ke masa sekolah dasar tahun 1960-an, saat guru boleh menggetok jidat murid lelet atau menjewer telinganya." -Felix Tani

Cukup sudah drama skripsi di ujung masa kuliah. Dengan dua pemeran utama: mahasiswa si protagonis dan dosen pembimbing si antagonis. Kebijakan opsional tugas akhir kuliah, antara skripsi atau non-skripsi, mungkin bisa menjadi solusi bagi para mahasiswa fobia skripsi.  Tipe mahasiswa macam itu kadung menganggap skripsi sebagai teror. Dosen pembimbing adalah teroris dan mahasiswa adalah korban. Lebay? Memang!

Tapi Permendikbudristek 53/2023 secara tak langsung telah membela tipe mahasiswa fobia skripsi semacam itu. Atau sekurangnya memfasilitasinya. Peraturan itu telah berbaik sangka. Katanya, sebagaimana terungkap dalam implementasi Kampus Merdeka, sangat mungkin kompetensi mahasiswa fobia skripsi itu bukan teoretikal (skripsi) tapi praktikal (non-skripsi). 

Karena itu, menurut aturan tersebut, tugas akhir mahasiswa untuk pembuktian kompetensi tak mesti skripsi. Tapi bisa juga non-skripsi seperti proyek, rencana bisnis, inovasi teknologi, dan karya seni. Baiklah. Lakukan saja begitu. Asalkan tugas non-skripsi itu tak mengkhianati kriteria kompetensi saintifik, nilai unggul sarjana.

Tulisan ini memusatkan perhatian pada skripsi saja. Bentuk tugas akhir ini sekarang seakan menjadi biang kendala kelulusan mahasiswa sampai-sampai tumbuh bisnis "joskrip" (joki skripsi) sebagai solusi instannya.

"Sokorin lu, Skrip! Lu gak wajib lage!" Mahasiswa fobia skripsi menyokorin nasib skripsi. 

Kasihan banget itu skripsi, ya. Seakan-akan dia semacam public enemy di perguruan tinggi. Sayangnya, penilaian negatif tentang skripsi justru diglorifikasi. Seolah-olah skripsi gak ada gunanya, kecuali untuk mempersulit kelulusan mahasiswa. 

Pernahkah dipikir secara kritis bahwa penilaian itu datang dari mahasiswa fobia skripsi atau sekurangnya, mahasiswa yang memang mengalami kesulitan dengan skripsi?

Sebagai pengimbang, saya akan berbagi pengalaman soal skripsi itu. Kali ini dari sudut pandang seorang dosen pembimbing, berdasarkan pengalaman pribadi. Juga berdasarkan pengamatan atas pengalaman rekan sejawat. Saya akan fokus pada persoalan sejumlah kecil mahasiswa yang mengalami proses penyusunan skripsi serupa drama tragedi. 

Kelemahan Penguasaan Bahasa Indonesia

Drama skripsi itu berpangkal pada dua kelemahan dasar mahasiswa. Kelemahan dalam penguasaan bahasa Indonesia dan penguasaan metode penelitian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun