Merdeka hadir di Jakarta. Sejak tujuh puluh delapan tahun lalu.Â
Sudah lanjut usianya.
Dia tegak sesak di atas tanah. Di rupa gedung-gedung pencakar langit, menara-menara angkuh, dan stadion-stadion megah. Berhala-berhala modern, serupa Menara Babel yang memicu perbantahan.
Merdeka hadir di jalanan. Di rupa aspal hotmix hitam mulus, trotoar beton, bentang flyover dan underpass, tol kota, busway, serta rel kereta melayang dan menerowong. Ditingkahi kendaraan padat macet, salip-menyalip, mengumbar asap, dan melawan arah. Juga warga selfie di jembatan penyeberangan.Â
Dia hadir di sungai-sungai. Di rupa keruh air berbau busuk, aneka limbah beracun, hunian kumuh di bantaran, pemulung mengail sampah, dan banjir di musim hujan. Diwarnai riuh anak-anak kecipak macam ikan sapu-sapu di genangan air.
Merdeka hadir di Gedung Perwakilan Rakyat. Di rupa mobil-mobil mewah, apparel dan asesoris jenama ternama, kritik-kritik keras di bibir, amarah formal dalam dengar pendapat, uang rapat dan reses, dan Omnibus Law. Lalu ada juga korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dia hadir di ruang publik. Di rupa unjuk rasa berjilid-jilid, sumpah-serapah kepada pemerintah, fitnah, hoaks, provokasi, dan makian ke wajah presiden. Kosa kata oligarki, firaun, planga-plongo, dungu, tolol, ijazah palsu, turunkan, dan bajingan disemburkan macam pelor senapan ke udara kota.
Merdeka hari ini hadir spesial di istana. Di rupa pembacaan naskah Proklamasi, pengucapan Pancasila, pengibaran Sang Saka Merah Putih, pesawat akrobatik di angkasa, lagu-lagu perjuangan, busana adat, dan makan-makan di balik pintu.
Dia tak lupa hadir juga di gang depan rumahku. Di rupa sorak-sorai pengobar semangat anak-anak balap karung, balap kelereng, dan makan kerupuk. Juga di rupa udara sarat polusi, di bawah deraan panas terik matahari.
Merdeka hadir di Jakarta. Sejak tujuh puluh delapan tahun lalu.Â