Pertama, tentu saja, tentang fisik bangunan Stasiun Pekalongan. Lalu tentang sejarahnya yang panjang. Atau keduanya saling pilin. Â
Stasiun Pekalongan yang sekarang ini, seperti umumnya stasiun lain di Jawa, didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1910-an. Pengoperasiannya resmi dimulai tahun 1920.
Struktur bangunan stasiun khas Hindia Belanda. Membujur dari timur ke barat di sisi utara rel, gedung ini menggunakan konstruksi rangka kayu. Atapnya model pelana berlapis tiga. Di antara lapis-lapis itu terdapat celah untuk sirkulasi udara keluar-masuk bangunan.Â
Bentang lebar atap stasiun ini disokong oleh kayu kantilever kuda-kuda dengan batang tarik terbuat dari besi. Hasilnya sebuah bentang atap yang kokoh, luas, dan megah. Peron, jalur-jalur rel, dan ruang-ruang layanan stasiun berdinding beton bata tebal aman di bawah naungannya.Â
Bangunan yang ada sekarang  ternyata adalah yang kedua. Semula Stasiun Pekalongan hanyalah bangunan kecil terbuat dari kayu. Stasiun itu didirikan oleh Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) tahun 1898. Fungsinya lebih sebagai stasiun hasil bumi.
Pelaksanaan Politik Etis sejak 1901 kemudian mendasari pembangunan-ulang stasiun itu menjadi seperti yang sekarang. Stasiun ini tadinya melayani juga jalur kereta ke pabrik gula Wonopringgo di selatan dan ke Pelabuhan Pekalongan di utara. Sayangnya jalur rel  ke selatan dibongkar Pemerintah Pendudukan Jepang tahun 1943.  Sementara jalur ke pelabuhan mati begitu saja.Â
"Sudah pukul lima. Cetak tiket dulu." Istriku mengingatkan. Stasiun Pekalongan belum menerapkan pintu "pengenal wajah" (face recognition). Masih sistem manual cek kesesuaian tiket, KTP, dan wajah oleh petugas pintu masuk.
"Tepat waktu kan, Mas?"
"Tepat waktu, Pak."