Sistem norma sendiri rerdiri dari empat tingkatan. Semakin tinggi tingkatannya, semakin ketat daya ikatnya dan semakin berat sanksi pelanggarannya.
Pertama, cara (usage), perbuatan spesifik individu yang mungkin hanya akan dicela orang lain bila taklazim.
Kedua, kebiasaan (folkways), aturan yang diikuti mayoritas warga. Sanksi bagi pelanggarnya ringan. Misalnya anak yang tidak salim pada orangtua akan ditegur.
Ketiga, tatalaku (mores), aturan yang menjadi standar perilaku sosial bagi setiap warga suatu masyarakat. Pelanggaran terhadapnya diganjar sanksi cukup keras. Misalnya pelaku hubungan seks di luar nikah dikenai denda berat.Â
Keempat, adat-istiadat (custom), aturan wajib yang paling mengikat bagi seluruh warga suatu masyarakat. Pelanggarnya akan dikenai sanksi sangat berat. Misalnya pelaku inses diusir keluar kampung.
Sistem norma itu dikonstruksi manusia untuk keperluan pengaturan hidupnya. Jelas itu hanya berlaku untuk manusia, bukan untuk hewan semacam anjing.
Begitupun dengan adat perkawinan Jawa, sebagai bagian dari adat-istiadat, jelas dikonstruksi hanya dan hanya untuk kepentingan manusia Jawa.Â
Dengan mengikuti aturan adat perkawinan, maka pasutri Jawa dinyatakan beradat dan bermartabat. Dengan demikian pasutri tersebut dterima sebagai bagian dari komunitas.
Sekarang coba kita renungkan. Jika sepasang anjing dinikahkan secara adat Jawa, apakah pasutri anjjng itu bisa memahami dan menjiwai makna adat itu? Apakah dengan begitu anjing menjadi beradat dan manusiawi?
Untuk memperjelas, ambil contoh unsur kembar mayang dalam perkawinan Luna dan Jojo, dua ekor anjing kaya-raya itu.Â
Dalam adat perkawinan manusia Jawa, kembar mayang itu punya makna filosofis dan sosial mendalam. Pada intinya itu bermakna penyatuan sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, telah menjadi sebuah keluarga yang menumbuhkan suatucpohon hidup baru. Di dalam keluarga itu ada harapan-harapan baik dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan untuk meraihnya.