Bondol haji, disebut begitu karena kepalanya putih macam kupluk atau kopiah Pak Haji, adalah pipit atau gelatik endemik Indonesia. Burung ini takut pada anak-anak karena manusia-manusia kecil itulah yang paling gemar menangkap mereka.
Di Panatapan, kampungku, kami menyebutnya silopak. Sebab di kampungku tak ada haji dengan kupluk putih. Silopak itu digunakan juga sebagai kode nama petugas Patroli Jalan Raya (PJR) oleh para supir. "Awas silopak di tikungan." Artinya ada petugas PJR di tikungan, razia kendaraan bermotor.
Aku berdiri mematung di tepi lahan bera. Bersabar menunggu para bondol haji mendekat, lalu akan kutangkap mereka dengan kamera ponselku.
***
Kesabaran menanti bondol haji datang kembali telah melemparkan ingatanku ke tahun 1960-an di Panatapan (pseudonim), Toba. Ke suatu masa kanak-kanak yang disibukkan oleh dua kegiatan yang bertentangan.Â
Di satu pihak kami, anak-anak, sibuk mengusir rombongan bondol haji dari hamparan padi berbulir hijau. Mereka adala gerombolan hama.
Tapi di lain pihak kami juga menangkapi mereka dengan cara marpulut (memulut), haji marpikket (memikat, memerangkap), marjaring (menjaring di sarang), atau bahkan marsongam (menyergap langsung di sarangnya).
Marpulut, memulut dengan getah hariara, sejenis beringin, adalah yang paling sadis. Seekor bondol harus dibunuh untuk menjadi pemikat. Ditusuk dengan batang resam atau pimping, lalu ditegakkan di atas gubuk-gubukan kecil yang terbuat dari semak-semak.
Tersembunyi di dalam gubuk kecil itu, ada seorang temanku yang meniup peluit terbikin dari batang gelagah. Bunyinya mirip betul dengan suara bondol.Â
Para bondol yang terbang di sekitar situ mengira bondol pengumpan itu yang memanggilnya. Mereka akan datang mendekat lalu hinggap di pucuk paku resam. Tertangkaplah mereka karena daun dan pucuk resam itu telah dipasangi pulut.