Di penghujung Oktober 1973 hujan, gerimis, dan renyai berselang-seling menyiram bumi Panatapan dan kampung-kampung sekitar.
Lalu sebuah berita kematian beruntun datang dari Hutabolon. Nenek dan kakek buyut Poltak, gelar Ompu Panderaja doli dan Ompu Panderaja boru, telah dipanggil Pencipta. Nenek buyut dipanggil dini hari sebelum ayam jantan berkokok. Lalu kakek-buyut dipanggil sebelum fajar menyingsing.
Tak seorangpun dari anggota keluarga besar pernah berpikir Ompu Panderaja doli dan boru akan dipanggil Tuhan di pagi hari yang sama.
Kematian semacam itu itu adalah karunia terindah. Idaman setiap psangan suami-istri Batak. Mati bersama di usia lanjut dengan status saurmatua. Saat semua anak sudah menikah dan memberikan cucu.
Seharusnya suami-istri Ompu Panderaja bisa mencapai status saurmatua mauli bulung. Sayangnya hal itu digagalkan oleh anak sulungnya, Ompu Poltak doli, dengan cara meninggal dunia lebih dahulu.
“Poltak, sudah tahu Ompung Hutabolon berpulang?” tanya Berta, pagi hari sebelum masuk ke dalam kelas di sekolah.
Berta menyebut kakek-nenek buyut Poltak itu Ompung Hutabolon. Sebab keluarga besar Berta itu terbilang hula-hula, pemberi isteri, bagi keluarga Ompu Panderaja. Berta sendiri secara generasi setingkatan dengan Poltak.
“Saurmatua, Berta. Mereka saurmatua.”
“Kamu tak ke rumah Ompung?”
“Nanti. Pulang sekolah aku langsung ke sana. Besok juga begitu. Malam hari besok dan lusa aku harus ikut manortor.”