***
Ayah Tuah dan Felix Tani itu sejatinya dua sekawan lansia. Mereka suka berseteru karena memang tak ada hal baik lain yang bisa dilakukan kecuali itu.
Hal baik? Berseteru itu itu hal baik?
Ya, dari sudut pandang Marxian memang begitu. Konflik adalah jalan menuju perbaikan kondisi.
Untuk konteks perseteruan Ayah dan Felix, begini penjelasannya.
Ayah Tuah itu seorang sastrawan. Bukan, eh, belum sastrawan besar, sih. Tapi tetap saja terbilang sastrawan. Setidaknya dia sudah menerbitkan antologi puisi Tiga Bicara Hujan.Â
Boleh dikata, selain biang cerpen, Ayah Tuah terutama adalah buaya puisi. Seperti dibuktikan dengan puisi-puisinya yang kerap menjadi Artikel Utama (AU) di Kompasiana. Walau itu AU di tengah malam. Pilu, memang.
Sebaliknya, Felix Tani itu jelas bukan sastrawan. Dia cuma seorang penulis picisan yang gemar pamer teori sosiologi dalam artikel-artikel sumirnya. Biasanya tentang masyarakat Batak Toba dan ragam masalah sosial lainnya.
Jika ada sisi baik pada Felix, maka itu hanya soal semangatnya belajar menulis puisi. Tapi ada bedanya dengan Ayah Tuah. Ayah menulis puisi pasifis yaitu puisi yang cinta perdamaian, patuh pada teori, metode, dan kaidah-kaidah baku. Felix menulis puisi anarkis. Maksudnya, terserahlah caranya, yang penting logis, etis, dan estetis.
Anarkisme itu kemudian menjadi salah satu pemicu seteru antara Ayah Tuah dan Felix Tani. Ayah itu patuh pada kaidah puisi, Felix menerabasnya. Karena itu di mata Ayah puisi Felix itu bukan puisi melainkan pseudo-puisi.Â
Tak apalah. "Jika kubilang ini puisi maka puisilah ini." Demikian Felix kukuh pada pendirian anarkisnya.Â