Komentar adalah penanda pembaca menyimak isi artikel. Maksudku komentar yang sesuai isi artikel. Bukan komentar basa-basi angin lewat bikin ngantuk semisal "Dahsyat", "Berkualitas", "Mantap", "Asyik", dan "Terimakasih atas informasinya".
Kalau komentar "Terus semangat! Tetap semangat!"? Ah, ini sih lumayan. Lumayan menyebalkan. (Kalau dibaca saat ngantuk. Ngantuk kok semangat.).
Komentar itu penanda mutu artikel yang, ya, paling tidak lumayanlah bagi pembaca. Sebab kalau tak bermutu, apa pula yang bisa dikomentari.  Kalaupun jumlah viewer-nya banyak, itu biasanya karena judulnya clickbait. Artikel Felix Tani banyak yang begitu. Juga artikel rekan Capres 2024 alias Tante Vaksin. Gak mutu, blas, jijay.
Eh, sudah 102 kata, ya.Â
Oke, panjangin dikit lagi agar sesuai judul.
Begini. Ada seorang rekan kompasianer yang kini nasibnya ngenes banget. Â Dulu dia sangat terkenal, dielu-elukan, sampai berhasil meraih gelar Kompasianer Best in Opinion. Tahun berapa itu, aku lupa. Gak penting juga. Sebab menurut dia, Admin dan kompasianer telah salah menilai. Pantasnya, katanya, dia menjadi Best in Fiction. Fiktif banget, ya.
Dia penulis spesial artikel politik. Isinya bernas, kalimatnya tedas, dan bahasanya pedas. Dalam bahasa Admin "nakal tapi masuk akal." Saking nakalnya, kerap artikelnya dimasukkan Admin ke karantina, atau sekalian dibuang ke tong sampah. Mesakno, tenan.
Sampai hari ini, kompasianer itu masih tetap menulis di Kompasiana. Tapi senjakala memang tak bisa ditunda. Sekalipun kamu dikaruniai mukjizat seperti Nabi Yosua, bisa menghentikan gerak matahari sore. Tetap saja senja akan tiba. Supaya ada malam, lalu pagi lagi. Dunia belum kiamat, bukan?
Kini kompasianer yang tak bisa lagi menghitung ubannya itu tak lagi dikenal mayoritas kompasianer generasi strawberry. Mereka ini kompasianer YZ yang artikelnya bagus-bagus banget, tapi kalau dikritik dikit langsung terluka. Â
Tapi bisa dimengeri juga bila mayoritas kompasianer YZ itu gak demen pada artikel kompasianer lawas itu.  Masalahnya, tipe artikelnya itu adalah selera kompasianer tua macam Felix Tani. Sementara kompasianer tua tinggal segelintir, mayoritas sudah ghosting entah ke mana.
Eh, sampai  sini sudah 315 kata, ya.Â
Kenapa harus berhitung jumlah kata? Karena menurut Ayah Tuah dalam puisi terbarunya, "Demikianlah Angka" (K.14.06.2023), hidup adalah soal angka-angka. Semisal, istrimu sudah berapa? Masih satu? Great! Kamu setia! (Oh ya?)
Oke, lanjut dikit lagi. Â
Ngenese, sekarang artikel kompasianer senior itu cuma dikunjungi plus-minus 100 viewers. Â Secara rata-rata, ya.Â
Lebih ngenes lagi, komentator artikelnya cuma satu orang. Dia sesama kompasianer lawas: Felix Tani (yang mencoba setia kawan). Komentarnya gak mutu pula. Ngasal aja.
Tapi kadang Felix Tani lupa juga memberi komentar. Kalau sudah begitu, Aki Hensa atau Kakek Merza biasanya memberi komentar mewakili Felix Tani. Benar-benar mewakili. Kecuali frasa "Tetap semangat, terus semangat." Itu asli punya Kakek Merza.
Mungkin kamu bertany(e)a-tany(e)a. Siapa gerangan nama kompasianer yang kumaksud. Ah, dia adalah rekanku, Mas Susy Haryawan. Beberapa kompasianer memanggilnya Bu Susy. Itu jelas pe-nis-ta-an! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H