Aku datang berkunjung ke kotamu tepat di malam purnama.
Kita bergandeng tangan di bawah terang bulan dan pendar ribuan lampion saat menyeberang jembatan kecil di pecinan.
"Manusia tak hanya hidup dari puisi," katamu. Mengingatkanku pada seseorang yang rajin merayumu dengan puisi-puisi rindu.
"Ya," sahutku, "tapi juga hidup dari narasi." Ingatanku melayang pada seorang politisi yang getol meneriakkan kerja berbasis narasi.
Sebab kerja tanpa narasi adalah kuli, Â narasi tanpa kerja adalah mandor. Itu yang kita lihat di pasar kotamu, bukan.
"Aku mau wedang ronde," pintamu. "Baiklah," kataku. Aku ingat, masih ada sisa uang di dompet. Cukup untuk segelas wedang ronde. Segelas hangat untuk dua hati.
Lalu, di aplikasi ponsel, ada selembar tiket kereta untuk pulang esok pagi ke kotaku.
Di kotaku kunanti janjimu tiba di stasiun kereta. (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H