Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mustahil FIFA Menjatuhkan Sanksi terhadap Indonesia

5 April 2023   06:12 Diperbarui: 5 April 2023   09:05 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pencabutan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20-2023 adalah tindakan sepihak oleh FIFA sehingga tak seharusnya Indonesia terkena sanksi.

Merespon pencabutan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20-2023, para stakeholder sepakbola nasional langsung tercebur ke dalam kancah polemik yang panas dan sarat sesat pikir (logical fallacy).

Polemik itu meributkan dua hal. Apa alasan FIFA mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah dan bagaimana bentuk sanksi yang akan dijatuhksn FIFA kepada Indonesia.

Sejauh ini, keributan nasional itu mengerucut pada dua kesimpulan berikut. 

Pertama, FIFA mencabut status tuan rumah dari Indonesia karena adanya penolakan kehadiran  Timnas U20 Israel dari dua gubernur serta sejumlah partai politik dan ormas.

Kedua, FIFA akan menjatuhkan sanksi berat kepada Indonesia yang berimplikasi pengucilan dari arena sepakbola dunia.

Sepintas dua kesimpulan itu terdebgar logis. Tapi benarkah begitu?

Saya akan coba tunjukkan bahwa sebenarnya telah terjadi semacam sesat pikir atau kegagalan logika (logical fallacy) dalam penarikan kesimpulan tersebut. 

Bukan karena Penolakan terhadap Timnas Israel

Nyaris menjadi kesimpulan akhir bahwa biang penyebab pencabutan status tuan rumah itu adalah penolakan gubernur Bali dan Jawa Tengah serta parpol dan ormas terhadap Timnas Israel.

Saya akan tunjukkan letak kesesatan dalam kesimpulan itu.

Pertama, penolakan  kehadiran Timnas Israel, sejauh itu diletakkan dalam konteks politik luar negeri (baca: anti penjajahan) Indonesia, oleh dua gubernur tidak punya kekuatan apapun karena bukan wewenang otonomi pemerintah daerah provinsi. Itu adalah wewenang pemerintah pusat. 

Mustahil FIFA tak paham soal hirarki kebijakan luar negeri Indonesia.  Para petinggi FIFA pastilah sangat paham bahwa pernyataan penolakan dari Gubernur Bali dan Gubernur Jateng tak lebih dari omong kosong. Itu penolakan tanpa dasar dan ranpa kekuatan. Terlebih lagi dua gubernur itu sudah menandatangani komitmen sebagai venue Piala Dunia U20-2023.

FIFA juga tahu dengan pasti bahwa Pemerintah Indonesia, ataupun PSSI, sampai hari ini tak pernah secara resmi menyatakan penolakan terhadap kehadiran Timnas Israel Juga tak pernah secara resmi mengundurkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 karena menolak Timnas Israel.  

Kedua, penolakan parpol dan ormas terhadap Timnas Israel, dengan dalih pembelaan pada Palestina yang  dijajah Israel, adalah keniscayaan demokrasi. Suara penolakan terhadap Timnas Israel bukan hanya terjadi di Indonesia dan bukan baru kali ini. FIFA mestinya sangat sadar dan paham soal hak demokrasi itu.

Lebih dari itu FIFA juga sangat paham bahwa suara-suara pembelaan terhadap Palestina adalah gejala permukaan yang tak penting. Di bawahnya dua kepentingan parpol/ormas yang tak dinyatakan, yaitu pengumpulan dana dan/atau massa/suara. Sesederhana itu.

Karena itu sangat terang bagi FIFA bahwa penolakan parpol/ormas terhadap Timnas Israel bukanlah sesuatu yang serius. Sebab yang penting bagi parpol/ormas hanyalah menyatakan penolakan demi melancarkan agenda pengumpulan dana dan/atau suara.

Sangat terang bahwa penyebutan isu penolakan terhadap Timnas Israel, khususnya oleh dua gubernur, adalah semacam argumen "ikan herring merah" (red herring argument), salah satu bentuk sesat pikir.  Argumen ikan herring merah adalah pelontaran satu umpan isu lain yang sangat seksi, di luar konteks persoalan, sehingga isu pokok terabaikan.  

Terlebih dengan penolakan eksplisit oleh Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, keduanya kader PDIP yang juga  menolak Timnas Israel. Itu adalah umpan "ikan herring merah" yang sangat seksi. Apalagi Ganjar adalah kader PDIP dengan elektabilitas tertinggi sebagai capres pada Pilpres 2024 nanti. 

Begitulah, dengan cepat Ganjar dan Koster, obyek "ikan herring merah" itu, segera diserbu dan dirisak berbagai stakeholder sepakbola nasional. Mulai dari pengurus PSSI, pemain Timnas U20, pendukung Timnas Indonesia, pengamat sepakbola, jurnalis, sampai politisi yang mendadak sayang pada Timnas Indonesia. 

Semua jari menunjuk hidung Ganjar, juga Koster, sebagai biang keladi pencabutan status tuan rumah Piala Dunia U20 dari tangan Indonesia. 

Banyak orang percaya kesimpulan itu. Terutama tentang Ganjar yang dituduh pencitraan untuk meraih suara umat Islam garis keras pro-Palestina. Sebuah tuduhan yang tak masuk akal. Umat Islam garis keras bukanlah swing voters. Mereka pendukung fanatik capres seiman tapi jelas itu bukan Ganjar.

Siapapun pelempar umpan ikan herring merah tadi -- mungkinkah itu  konspirasi FIFA, PSSI, dan Pemerintah Indonesia (?) -- jelas dia paham bahwa publik sepakbola Indonesia tak cukup cerdas untuk kritis terhadap keputusan FIFA.

Itu benar belaka. Ketimbang menggugat keputusan otoriter FIFA, bersifat sepihak, stakeholder sepakbola Indonesia lebih suka menghujat dan menyalahkan anak bangsa dan bangsa sendiri. Sementara para pejabat FIFA terkekeh-kekeh di Zurich, Swiss sana. Begitupun Timnas Israel di Tel Aviv sana.

Lantas Apa Sebenarnya Alasan FIFA?

Ada tiga pihak yang mestinya tahu persis alasan FIFA mencabut status tuan rumah Piala Dunia U20-2023 dari Indonesia. Mereka adalah FIFA sendiri, Pemerintah Indonesia (Pusat), dan PSSI. 

Secara formal lewat surat, FIFA menyebut alasan pencabutan adalah "... karena keadaan saat ini ...." Itu alasan yang ambigu.  Frasa "keadaan saat ini" bisa diartikan macam-macam, tergantung kepentingan dan sudut pandang.  

Bahwa "keadaan saat ini" itu oleh stakeholder sepakbola nasional diartikan sebagai "penolakan Timnas Israel oleh dua gubernur serta sejumlah parpol dan ormas", itu adalah keberhasilan penyesatan publik lewat agumen ikan herring merah. Hal itu sudah saya jelaskan tadi.

Ada "keadaan saat ini" yang tak diungkap ke ruang publik. Sesuatu yang penting dan genting secara politik dan ekonomi, sehingga lebih baik apabila Piala Dunia U20-2023 tidak diselenggarakan di Indonesia.

Kemungkinannya adalah sebagai berikut ini.

Pertama, alasan politik khususnya keamanan. Lepas dari penolakan dua gubernur serta sejumlah parpol dan ormas terhadap Timnas Israel, sangat mungkin ada informasi intelijen tentang kemungkinan adanya aksi teror terhadap  Timnas Israel, dan tim-tim lain yang mau bertanding dengan Israel.

Aksi teror bisa datang dari sesuatu kelompok garis keras yang punya agenda untuk diakui eksistensinya.  Bisa dari jaringan (nasional/internasional)  Islam garis keras pro-Palestina (anti-Israel), kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua, atau lainnya.

Alasan kekhawatiran akan aksi teror itu terindikasi dari ujaran Gubernur Bali. Koster yang mengingatkan rakyat Bali sangat traumatis dengan aksi teror khususnya bom bunuh diri.  

Aksi teror semacam itu, jika terjadi, tidak saja mengancam keamanan  Timnas Israel, tapi juga tim-tim lain. Tidak mustahil, demi keamanan dan keselamatan,  akan banyak pula tim yang mundur dari keikutsertaan di Piala Dunia U20-2023. Kalangan sepakbola dunia tak ingin peristiwa seperti Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 terjadi lagi.  

Hal seperti itu, secara politik akan mencoreng wajah Indonesia dan FIFA di mata dunia. Indonesia dan FIFA akan dituduh tak mampu menjamin keamanan dan kenyamanan tim-tim sepakbola dan penonton  di Piala Dunia.

Walaupun mitigasi terorisme bisa disiapkan, FIFA dan Pemerintah Indonesia mungkin memilih untuk tak memberi ruang teror sama sekali. Caranya, batalkan Piala Dunia U20 di Indonesia. Itu harga yang jauh lebih murah, ketimbang benar-benar terjadi teror.

Kedua, alasan ekonomi khususnya bisnis. Ini bwrkaitan dengan isu keamanan dalam Piala Dunia U20. Jika dibayangi oleh isu terorisme atau gangguan keamanan, maka Piala Dunia U20 sangat mungkin akan sepi penonton. Artinya secara bisnis tak menguntungkan. Solusinya, ya, ganti negara tuan rumah.

Harap diingat, FIFA adalah organisasi kapitalis terbesar di bidang (bisnis) olahraga. Keuntungan bisnis adalah salah satu tujuan utamanya.

Dua alasan itu memang bersifat dugaan, sebab FIFA dan pemerintah tak pernah mengungkapkannya. Presiden Jokowi sendiri hanya mengingatkan agar tidak mencampur-aduk politik dan olahraga. Tapi jelas kedua alasan itu lebih masuk akal ketimbang mengkambing-hitamkan dua orang gubernur.

Takada Alasan Logis untuk Sanksi dari FIFA

Terkait pencabutan status tuan rumah Piala Dunia U20, FIFA mengatakan  "Potensi sanksi terhadap PSSI juga dapat diputuskan pada tahap selanjutnya."

Potensi sanksi itu menurut para stakeholder sepakbola nasional bisa berupa pembekuan PSSI sampai larangan mengikuti agenda resmi FIFA. Pokoknya pengucilan Indonesia dari dunia sepakbola.  

Di mana letak logikanya, ya. Kan FIFA yang secara sepihak, otoriter, mencabut status tuan rumah Piala Dunia U20-2023 dari Indonesia.  Pemerintah atapun PSSI sendiri tak pernah menyatakan mundur atau tak siap. Indonesia tak melakukan suatu kesalahan apapun.

Malahan logisnya justru Indonesia yang harusnys menggugat FIFA ke Court of Arbitration for Sport (CAS) atas keputusan pembatalan tuan rumah yang bersifat sepihak itu. Bahwa Indonesia tak menggugat, itu hanya menguatkan dugaan adanya "saling pengertian" dengan FIFA.

Ada preseden. FIFA telah mencabut status tuan rumah Piala Dunia U17-2023 dari tangan Peru karena ketaksiapan infrastruktur. Bukannya FIFA menjatuhkan sanksi kepada Peru, alih-alih justru berterimakasih.

Jika Peru yang wanprestasi saja mendapat apresiasi dari FIFA, maka Indonesia yang sudah sepenuhnya siap mestinya lebih diapresiasi, dong.  Bukannya malah dihukum atau dijatuhi sanksi berat.

Lagi pula, menyusul Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022, bukankah FIFA sudah berkomitmen  untuk "... membantu PSSI, bekerja sama erat dan dengan dukungan pemerintahan Presiden Widodo, dalam proses transformasi sepakbola Indonesia ..."? Itu pernyataan resmi FIFA sendiri.

Lantas akan bagaimana cara FIFA membantu transformasi sepakbola Indonesia jika, misalnya, FIFA menjatuhkan sanksi pembekuan PSSI atau pengucilan Indonesia dari agenda resmi FIFA? Itu kan sesuatu yang kontradiktif, tak ada logikanya.

Jadi, pada akhirnya, bisa disimpulkan bahwa sanksi FIFA terhadap persepakbolaan Indonesia tidak punya dasar atau alasan logis yang kuat. Mustahillah. Soalnya pembatalan pelaksanaan Piala Dunia U20-2023 bukan karena permintaan atau ketaksiapan Indonesia, melainkan keputusan sepihak dari FIFA sendiri.

Jadi, kalau hari-hari kemarin dan nanti Ketua Umum PSSI Erick Thohir sibuk berunding dengan Presiden FIFA Gianni Infantino, rasanya mereka tak akan berbicara sanksi tapi sebaliknya imbalan untuk Indonesia. 

Sangat mungkin mereka membicarakan peluang Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U17-2023, sebagai bentuk dukungan kongkrit FIFA untuk transformasi sepakbola Indonesia. Bisa saja, kan? (eFTe)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun