Chairil dan Sapardi tidak tiba pada kata, frasa, dan kalimat puitis itu dalam sekedipan mata. Sekalipun mereka penyair hebat. Ada "air mata darah" di balik kata-kata itu.Â
Belajar dari Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono, aku kemudian sadar, puisi tak semata soal pilihan dan anggitan kata indah -- seringkali berupa kata baru dan frasa njlimet yang membuatku mengerinyitkan dahi.
Hal yang terpenting adalah: makna. Â Itulah pelajaran yang menjadi pedomanku.
Puisi "Pengakuan Seorang Pendosa Tua" (kompasiana.com, 29/06/2019) adalah buah upayaku jatuh-bangun menulis sebuah puisi yang menawarkan makna -- kata lain dari jiwa atau nilai.
Larik-lariknya begini:
"Sisyphus! Kau sangka sisa usiamu sebuah kemalangan? Tidak. Kau salah sangka. Sisa usiamu adalah kebajikan. Melakoni absurditas hidup manusia. Mendaki hingga setindak dari puncak gunung saat berangkat tidur di malam hari. Hanya untuk menemukan diri terlentang di kaki gunung saat terbangun di pagi hari.
Tidakkah lakon sisa hidupmu suatu kebaikan, wahai engkau Sisyphus?
Sedangkan aku? Aku mengejar batas cakrawala pada sisa umur uzurku. Tapi tiap langkahku tak kunjung mendekatkan jarakku padanya. Sebab kutemukan diri hanya berlari di tempat. Mulai berlari setiap  berangkat tidur di malam hari. Hanya untuk menemukan diri semakin dalam terperosok setiap terbangun di pagi hari.
Tidakkah sisa hidupku sebuah kemalangan, wahai engkau Sisyphus?
Tuhanku! Aku tahu Engkau tetap berdiri di sana, di batas cakrawala, sedari dulu, kini, dan sepanjang masa. Setia menungguku untuk menghambur ke pelukanMu. Tapi aku setiap kali telah menyimpang ke jalan lain untuk mengingkari-Mu. Â Sebelum setiap kali pulang ke titik awal. Dengan air mata sesal berulang di sepasang pelupuk mata renta.
Aku setiap kali membela diri di hadapan-Mu, ya Tuhanku, bahwa aku hanya meneladan Petrus yang tiga kali menyangkal-Mu sebelum ayam berkokok menjelang pagi hari.
Dan Engkau, ya Tuhanku, kulihat dari jauh, atas setiap kali pembelaanku, hanya menyungging selarik senyum penuh asih di bibirMu."
Puisi itu diganjar label "Artikel Utama" di Kompasiana.
Dan aku percaya pada penilaian Admin Kompasiana. Â Bahwa tulisan itu memang benar sebuah "puisi", Â bukan pseudo-puisi atau "bangkai" -- tubuh (puisi) tanpa jiwa (puisi).
Proses kreatif puisi  -- jika sepakai itu sebuah puisi -- bukanlah sesuatu yang mudah bagiku. Itu dimulai dari sebuah perjalanan ziarah ke Patung Kristus Raja (Memberkati Kota Makale) di puncak bukit Buntu Burake, Makale Toraja pada bulan Desember 2018.
Setelah mengendapkan pengalaman ziarah itu  selama 6 bulan, barulah aku mendapatkan sebuah makna "pertobatan" di situ.  Tapi aku sadar bahwa diriku adalah manusia  biasa yang mudah jatuh kembali ke dalam dosa.  Tapi Tuhan Maha Rahim, tak pernah marah.
Itu sebabnya aku melihat kesejajaran diriku dengan Sisyphus, sosok  absurd dalam mitologi Yunani, dan Santo Petrus, murid Yesus yang jatuh tiga kali ke dalam dosa "penyangkalan" hanya dalam tenggang waktu  tiga kali  kokok  ayam jantan dini hari.
Jadi, andaikan aku tak membaca kisah Sisyphus dan Santo Petrus, Â maka kupastikan puisi itu tak akan pernah teranggit dan teragihkan ke hadapan pembaca.