Dan, percayalah, itu tidak pernah mudah.Â
Aku sudah mengalaminya sendiri. Aku bagikan, ya.
***
Anarkis itu bukan berarti sembarangan, atau seenak udel. Ada logika, etika, dan estetika yang mesti dipertanggung-jawabkan di situ.
Tapi orang kerap salah kaprah. Berpikir menulis puisi itu mudah. Yang penting ada kata-kata indah, bait, dan rima. Jadilah itu puisi.
Tak begitu, kawan!
Begini. Ibarat manusia, puisi itu terdiri dari kesatuan tubuh (struktur) dan jiwa (nilai). Tubuh tanpa jiwa adalah bangkai. Jiwa tanpa tubuh adalah hantu.
Nah, aku dalam proses belajar menulis puisi telah menulus "puisi yang bukan puisi". Tepatnya, pseudo-puisi.
Itulah tulisan yang tubuh atau strukturnya puisi, tapi jiwa atau nilainya bukan puisi -- mungkin itu prosa menyaru puisi.
Aku menulis banyak pseudo-puisi semacam itu. Antara lain tentang sepakbola dan politik.
Salah satunya adalah pseudo-puisi "Sudah Dipastikan Tidak Ada Ijazah Atas Nama Jokowi" (kompasiana.com, 11/11/2022). Isinya begini:
"Negeri ini lagi ngeri-ngeri sedap. Ijazah Presiden Jokowi diduga palsu. Gugatan sudah didaftarkan ke pengadilan.
Presiden Jokowi tertawa getir saja. Itu sajian humor murahan di masa kenaikan harga-harga.
Jangankan palsu. Ijazah SD, SMP, SMA, dan Sarjana atas nama Jokowi pun tak pernah ada.
Periksa semua ijazah Pak Jokowi. Di situ tertulis namanya Joko Widodo. Bukan Jokowi.
Ini bukan hoaks."Â