Hei! "Kesadaran imajinatif", "pengalaman", dan "respon emosional".
Semua itu frasa-frasa yang merujuk subyektivitas. Bukan konsep-konsep yang bisa diukur secara obyektif.
Nah, kalau definisi puisi itu subyektif, maka pentakrifannya adalah kesia-siaan. Karena pada akhirnya, artikulasi puisi akan berbeda dari satu ke lain orang.
Dengan begitu, puisi dalam kenyataan adalah "moda pikir" (mode of thought) yang bersifat subyektif. Tergantung proses kreatif penyair -- sesuatu yang intuitif dan serendip.
Jadi? Ya, tak terdefinisikan. Atau, jika memaksakan definisi, maka puisi akan terbunuh.
Hal itu seperti jawaban Louis Armstrong saat ditanya definisi jazz. Katanya, "... jika kamu bertanya seperti itu, maka kamu tak akan pernah tahu jawabannya." [1]
Maka jika merujuk filsuf Paul Feyerabend, bisa dikatakan, puisi adalah pewujudan anarkisme terindah di jagad literasi. [2]
Persis seperti kata Charles Olson, penyair Amerika, "puisi adalah energi yang ditransfer dari tempat penyair menemukannya, dengan cara puisi itu sendiri, dengan segala cara kepada pembaca." [3]
Kurang anarkis apa puisi itu, coba!
Tapi di situlah letak sulitnya. Menulis anarkis itu adalah "menulis dengan cara tanpa cara".Â
Dengan kata lain, penulis puisi dituntut untuk menemukan caranya sendiri.