Apakah aku mengerti  pakem-pakem cerita wayang itu?  Sama sekali tidak.  Hanya paham dagelan saat goro-goro (:D). Selebihnya aku hanya mengandalkan rasa bahasa saja.  Menebak-nebak jalan cerita. Kelak aku tahu tebakanku banyak melesetnya.
Tapi, tak pelak, tetangga kamar kost mengataiku bodoh. Â Tak masuk di akalnya ada orang mau begadang untuk mendengar cerita wayang yang tak dimengertinya.
Ah, dia tak paham.  Mendengar cerita bagiku terutama bukan soal  mengerti bahasanya. Tapi soal membangun imajinasi sebagai wujud  kenikmatan mendengar cerita.
***
Apa pelajaran yang bisa kutarik dari kisah-kisah bodoh bersama radio?
Begini.  Sewaktu kuliah  dulu, dosenku mengajarkan  media-media belajar audio, visual, kinestetik, dan paduan dua atau ketiganya. Dari ragam media belajar itu audiolah yang paling menantang untuk pengembangan imajinasi secara otonom. Â
Sementara media audio-visual semacam film, atau visual-kinetik semacam alat peraga adalah bentuk penjajahan terhadap kemerdekaan berimajinasi. Â
Ada misalnya sinetron Saur Sepuh yang tak begitu menarik bagiku.  Karena penggambaran tokoh dan lingkungannya tak sesuai dengan bangunan imajinasiku saat mendengarnya dulu.
Pada akhirnya aku hanya ingin mengatakan, "Radio janganlah mati." Â Radio sebagai media audio adalah media terbaik -- yang aku tahu berdasar pengalaman -- untuk membangun daya imajinasi. Â Kemampuan yang tak dimiliki televisi, film, dan video-video YouTube atau TikTok.
Dengan radiolah -- selain buku, tentu saja -- aku membangun daya imajinasi. Suatu daya yang sangat penting bagiku untuk mendukung pengambilan keputusan dan perencanaan target dalam dunia kerja.
Diksi, gaya bahasa, intonasi, sampai timbre suara penyiar, penyanyi, dan pelakon cerita di radio itu benar-benar didisain untuk membantu pendengar bukan saja untuk paham, tapi terutama untuk berimajinasi. Daya imajinasi itu yang akan semakin tumpul pada masyarakat tanpa radio.