Kalah di laga Piala Dunia adalah sebuah prestasi dibanding tak pernah main di Piala Dunia.
Tiap kali Akram Afif atau Almoez Ali, ujung tombak kembar Qatar berlari membawa bola mendekati kotak-16 Belanda, terdengar gemuruh sorak-sorai pendukung, warga Qatar, menyemangati.
Kita sama tahu, sorak-sorai pendukung mungkin bisa merubuhkan pagar stadion -- seperti sudah terjadi di JIS -- tapi tak akan membuahkan gol ke gawang lawan.
Sebab jika sorak-sorai bisa membuahkan gol, sudah pasti Indonesia selalu menang melawan tim manapun. Selama pertandingan di adakan di Indonesia.
Sesekali tampak Qatar mampu mengepung Belanda di daerah gawang. Tapi itu juga tak akan membuahkan  gol, selama bola hanya dimainkan dari kaki ke kaki.
Jadi sudahlah. Qatar memang lolos ke Piala Dunia 2022 berkat fasilitas wild card sebagai Tuan Rumah.  Bukan melalui jalur kompetisi yang berdarah dan bernanah. Halah!
Pada awalnya warga Qatar memang menaruh harapan tim mereka bisa memenangi laga demi laga. Â Tapi setelah dibabat Ekuador dengan skor 2-0, publik Qatar segera belajar menerima kekalahan.
Mereka realistis. Jika melawan Ekuador saja kalah 0-2, apalagi melawan Senegal dan Belanda. Faktanya, memang, Qatar tumbang di kaki Senegal (1-2) dan Belanda (0-2). Dua kesebelasan itu melenggang ke Babak 16 Besar.Â
Jadi, saat Qatar berhadapan dengan Senegal, warga Qatar sudah siap mental. Mereka sudah menerima "kredo" bahwa Qatar bertanding untuk kalah.
Ikhlas! Serius.