Pernah dengar lagu dengan syair yang sebegitu gelap dan menekan? Sehingga mendorong pendengarnya untuk membunuh atau bunuh diri?
Konon lagu Requiem for A Tower,  salah satu soundtrack film The Lord of The Rings, dari album Clint Mansell and Nathan Duvall dapat memicu pendengarnya membunuh orang.
Lalu lagu Gloomy Sunday gubahan Rezso Serres (1933), dipopulerkan  Billie Holliday (1941) bisa memicu tindakan bunuh diri.
Itu kata orang, sih. Engkong Felix gak tertarik membuktikannya.
Lagi pula, soal tindakan membunuh orang lain atau bunuh diri itu pertama-tama harus dikembalikan pada predisposisi sosio-psikologis dalam diri seseorang. Lagu, film, video, gudeg, gado-gado, atau apapun itu hanya kambing hitam. Â
Lagu-lagu semacam Requiem for a Tower dan Gloomy Sunday itu kemudian dikategorikan sebagai lagu terlarang. Kira-kira, mungkin, sama seperti lagu Hati yang Luka (1987) karangan Obbie Messakh yang dipopulerkan Betharia Sonata. Lagu ini dilarang Pemerintah Orde Baru karena dianggap bikin bangsa ini cengeng.
Hah? Lagu macam  itu bisa bikin bangsa Indonesia cengeng?  Atau, sebenarnya, bangsa ini sudah yang punya predisposisi cengeng? Coba lihat sekarang. Dikit-dikit tersinggung. Lalu demo, bacok, atau lapor.
Tapi Orde Baru itu tak konsisten. Pada tahun 1967 musisi A. Riyanto (1967) merilis sebuah lagu pop yang bercerita tentang pembunuhan dan bunuh diri. Tapi lagu yang dipopulerkan Tetty Kadi itu aman-aman saja dari pelarangan. Bahkan lagu itu menjadi hits akhir 1960-an sampai awal 1970-an.
Penasaran? Simak lagunya di bawah ini.