"Saya berharap bahwa akan menjadi kenyataan bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu bahwa Asia baru dan Afrika baru telah lahir!" -Soekarno, Konferensi Asia-Afrika 1955
Soekarno pasti tertawa bahagia dari "atas" sana menyaksikan Arab Saudi mencukur Argentina (2-1) dan, kemudian, Jepang mrnggunduli Jerman (2-1) di ajang Piala Dunia 2022 Qatar.
Kemenangan itu bisa dimaknai sebagai lahirnya Asia-Afrika baru dalam dunia persepakbolaan.Â
Tapi terutama lahirnya Asia yang baru. Sebab Afrika baru sebenarnya sudah lahir lebih dulu pada Piala Duni 1990. Waktu itu Kamerun mematahkan dominasi Eropa-Amerika dengan melaju ke babak perempat-final.Â
Asia baru yang dimaksud adalah Asia dengan kinerja sepakbola yang mengimbangi sepakbola Eropa dan Amerika Selatan khususnya. Terindikasi dari parahnya dominasi negara-negara di dua benua itu sepanjang sejarah.
Sudah lazim diterima fakta Juara Dunia Sepakbola hanya semacam arisan antara negara-negara Eropa dan Amerika Selatan. Juaranya sejak 1930 sampai 2018 adalah Brasil (5 kali) Italia (4), Jerman (4), Uruguay (2), Argentina (2), Perancis (2), Inggris (1), dan Spanyol (1).
Tak ada Juara Dunia dari Asia-Afrika. Bahkan sekadar juara kedua juga tak pernah. Bahkan tidak semifinalis.
Untuk waktu yang lama, struktur persepakbolaan dunia mengikuti pola pusat-pinggiran (center-periphery). Eropa-Amerika (termasuk Rusia) adalah pusat, benua sepakbola maju. Asia-Afrika adalah pinggiran, benua sepakbola sedang berkembang atau terbelakang.
Piala Dunia dengan demikian bukan terutama gejala sosial-budaya, tapi ekonomi dan politik, atau politik-ekonomi (political economi). Â Petama-tama dia adalah bisnis kapitalistik, perburuan surplus. Lalu politik untuk memfasilitasi tujuan-tujuan kapitalistik itu.
Itu menjelaskan diskriminasi negara-negara Asia-Afrika, umumnya sepakbolanya sedang berkembang (developing) atau terbelakang (underdevelopment), oleh FIFA dalam gelaran Piala Dunia. Selalu lebih banyak wakil dari negara-negara benua Eropa dan Amerika yang sepakbolanya maju.