Kamu tahu, kan? Masa bakti  para Nabi berujung pada hembusan nafas terakhirnya.Â
Tapi para kompasianer tua -- lansia yang sudah lewat sewindu berkompasiana -- sekalipun mungkin membawa misi "kenabian", Â tidak perlulah seperti itu. Â
Persisnya, menjadi kompasianer itu gak usahlah sok-sok heroik. Emang udah heroik beneran, kok. Menulis sampai tekor!Â
Kurang heroik apa lagi, jal!
Walau begitu, janganlah sampai menyisihkan hembusan nafas terakhirmu untuk Kompasiana. Jangan. Itu korupsi namanya. Nafas mesti dikembalikan lengkap kepada Sang Khalik.
Tidak seperti para Nabi, kompasianer tua macam Engkong Felix memilih surut. Itu tidaklah buruk.
Begini. Surut itu bukan mundur. Air surut bukan air mundur, bukan? Apa jadinya kalau air sungai mundur ke hulu? Lautnya pindah ke puncak gunung, dong.
Surut itu mengurangi intensitas. Seperti banjir surut di Jakarta, berarti menekan genangan air dari setebat menjadi sekobokan per hari.
Begitu pula dengan Engkong Felix. Surutnya itu berarti frekuensi penganggitan dan pengagihan artikel di  Kompasiana akan berkurang.
Itu berarti Engkong Felix akan menjadi selektif dalam menulis artikel. Konsekuensinya, akan ada jenis artikel tertentu yang ditekan jumlahnya. Itulah artikel humor, puisi kenthir, dan artikel perisakan.Â