Yang disebut terakhir adalah buah doa tak kunjung jemu dari korban utama risakan Engkong. Â Siapa lagi kalau bukan Admin Kompasiana dan Acek Rudy. Tuhan mengabulkan doa mereka lewat tangan Engkong. Mukjizat banget, kan?
Dengan demikian, bolehlah berharap Kompasiana akan menjadi aman-tentram, bebas dari artikel-artikel noise produksi Engkong. Semua artikel di Kompasiana bakalan voice, voice, dan voice saja.Â
Itu maunya Admin Kompasiana dan mayoritas kompasianer, bukan?
Sekarang mengertilah kamu, mengapa Engkong memutuskan surut dari Kompasiana.
Tahu diri. Itulah alasannya.
Engkong tahu diri, tidak bisa seperti yang Admin minta, tak bisa seperti yang kompasianer Y&Z minta. Tak mudah dan tak guna mengubah mindset lansia Baby Boomers. Dia akan mati membawa bebalnya. Itu yang akan dikenang darinya.
Maka Kompasiana ke depan akan relatif steril dari cerita-cerita Gang Sapi, Jalan Amat Buras, soto Mas Karso, dan Poltak tua. Bagi Admin Kompasiana dan mayoritas kompasianer, kisah-kisah humor sambal risak -- atau risak bumbu humor -- semacam itu adalah sampah picisan. Itu fakta yang Engkong sudah terima.
Tapi kalau diminta menulis artikel-artikel "politip & politrik", Engkong juga tak bisa, atau tak tega. Menulis macam itu rasanya seperti menulis manual untuk robot.Â
Ya, Engkong paham, di era I(di)oT ini manusia memang cenderung bersikap, berpikir, dan bertindak dalam pola robotik. Tapi Engkog tak percaya kita, Homo sapiens, ini telah ber-revolusi menjadi spesies Homo robotika.
Jika benar terjadi revolusi genetika semacam itu, maka menjadi masuk akal bila artikel-artikel "kenthir" Engkong dianggap sampah. Robot memang tak butuh filsafat, emoh soul food, santapan jiwa.
Jadi, izinkanlah Si Tua yang tahu diri ini surut perlahan dari Kompasiana. Sungguh, Engkong tak ingin dikenang.