Kedua, riset itu hanya mengukur pola mobilitas fisik elite sosial kota, khususnya kalangan eksekutif, Â pada satu titik waktu tertentu (2017). Â Pada kelas sosial itu, jalan kaki lebih bermakna sebagai olahraga (jogging) yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu.
Makna jalan kaki itu bervariasi menurut kelas sosial dan golongan umur (generasi). Pada kelas sosial bawah, misalnya pedagang keliling, jalan kaki bermakna sebagai tuntutan pekerjaan. Â
Dalam konteks perusahaan, bagi karyawan magang jalan kaki mungkin bermakna penghematan biaya transportasi. Tapi bagi seorang direktur, jalan kaki itu pemborosan waktu dan tenaga.
Dengan dua problem metodologis itu, saya bisa mengatakan kesimpulan "orang Indonesia paling malas jalan kaki sedunia" tidak valid.Â
Selain hanya menggambarkan pola mobilitas fisik minoritas elite sosial kota besar, riset Stanford University itu tak mengungkap perbedaan dan atau perubahan makna jalan kaki antar usia dan antar kelas sosial.
Jika hal terakhir ini dicakup dalam riset itu, maka sangat mungkin kesimpulannya "Indonesia adalah negeri pejalan kaki".
***
Untuk membuat lebih jelas, izinkan saya menyajikan sebuah riwayat subyektif perihal perubahan makna jalan kaki sepanjang usia seseorang. Dalam kasanah riset sosial, Â ini tergolong pada metode biografi (riwayat hidup), varian tematik ringkas.
Untuk keperluan itu, saya secara purposif telah memilih individu Poltak (pseudonim) sebagai subyek kasus. Â Saya kemudian menggali pengalaman subyektifnya melakoni jalan kaki sejak usia kanak-kanak sampai lansia sebagai berikut ini.
Masa Kanak-kanak Tahun 1960-an sampai Awal 1970-an
Masa kanak-kanak Poltak di Toba sepenuhnya adalah masa jalan kaki. Pergi-pulang ke sekolah (SD) Â -- dari Panatapan, kampungnya ke Hutabolon, lokasi SD (keduanya pseudonim -- jalan kaki total 6 km per hari. Ke gereja tiap hari Minggu, pergi-pulang total 3 km. Ke padang penggembalaan kerbau pergi pulang 2-4 km, tergantung lokasi.