Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Admin Kompasiana Digaji Kompasianer

23 September 2022   09:25 Diperbarui: 23 September 2022   09:51 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gajian (Foto: Shutterstock via kompas.com)

"Kompasianer adalah sub-spesies Homo sapiens yang berani tekor asal (belum tentu) sohor."-Engkong Felix

Kalau kamu melakukan bisnis berbasis kontribusi khalayak, maka praktis kamu digaji oleh khalayak untuk itu.

Contoh tipikalnya ACT. Basis bisnisnya adalah donasi dari khalayak, wujud solidaritas bagi mereka yang butuh (menurut ACT). Nah, bukankah pengelola ACT mengambil 13.7 persen dari donasi itu untuk menggaji diri sendiri?

Atau mungkin mengambil manfaat lebih melalui peternakan duit. Misalnya main di pasar saham. Bukankah marginnya mungkin masuk ke dompet pengurus ACT?

Dalam skala negara juga begitu. Bukankah rakyat (citizen) membayar pajak, retribusi, dan aneka pungutan lain untuk antara lain menggaji pemerintah?

Rakyat menggaji para personalia eksekutif, legislatif, dan judikatif. Dan banyak dari mereka hidup mewah, bukan?.

Sebenarnya rada absurd juga. Kita, rakyat, menggaji polisi untuk menangkap kita; menggaji jaksa untuk menuntut kita; menggaji hakim untuk menjatuhkan vonis pada kita. Tentu kalau kita ketahuan melakukan pelanggaran hukum pudana, misalnya.

Begitu juga kita menggaji anggota DPR untuk membuat undang-undang yang mengatur hidup kita.

Dan menggaji presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, camat, samoai lurah/kades untuk nenguasai dan memerintah kita. Kita sebut mereka penguasa dan pemerintah, bukan?

Jangan marah dan sedih. Itulah kobsekuensi dari konteak sosial bernegara.  Hanya ada satu cara untuk menghindarinya: jangan menjadi warga negara. Mau?

Engkong Felix perlu ngalor-ngidul ngetan-ngulon dulu sebelum bicara pokok masalah. Agar kamu tidak kaget lalu mencak-mencak di kamar mandi. Lantaran baru sadar bahwa Admin Kompasiana sehatinya digaji oleh kompasianet.

Hah! Yang bener, lu!

Wah, masih kaget juga. Hati-hati. Lantai kamar mandi licin, tuh. Kamu ngapain aja di dalam situ.

Begini, Kawan. Kompasiana itu juga bisnis berbasis kontribusi khalayak yang menyebut diri netizen. 

Jelasnya begini. Lima persen dari 2.5 juta kompasianer menganggit dan menayangkan artikel di Kompasiana. Sebagian dari 2.5 juta kompasianer plus sejumlah non-kompasianer mengunjungi (15 juta kunjungan/per bulan). Lalu mereka membaca artikel Kompasiana (27 juta pageview per bulan). 

Nah, trafik pengunjung ini (kunjungan dan pageviews) mendatangkan iklan. Iklan mendatangkan uang. Uang itu menjadi pendapatan Kompasiana. Atas dasar pendapatan itulah manajemen  Kompas Gramedia Group menggaji Admin Kompasiana.

Sudah jelas?

Mungkin ada yang protes. Katanya, wajarlah digaji begitu.  Admin kan jungkir balik mengelola dan membesarkan blok kolektif Kompasiana Rumah Kita Bersama.  

Ya, iyalah. Tapi gak sampe jungkir balik juga kale. Lebay, ah. Siapa tau ada juga Admin yang quiet quitting. Atau di-quiet firing KG Group.

Tapi memang harus diakui Admin berjuang keras -- gak mati-matian, ya -- untuk membesarkan dan mentenarkan Kompasiana. Demi apa? Demi kenyamanan dan gengsi kompasianer menulis artikel atau konten di Kompasiana.

Biar tekor asal sohor. Itu motto kompasianer. Soal tekornya, tanyakan pada Pak Tjip dan Bu Lina. Soal sohornya, tanyakan pada Acek Rudy.

Jangan tanya Engkong Felix. Dia tekor gak tekor, sohor gak sohor. Alias gaje.

Sudah pasti Engkong Felix tak keberatan Admin K digaji oleh kompasianer. Memang begitulah perilaku kapitalisme, di dunia nyata maupun maya. Admin berhak mendapat fee atas pengelolaan sumberdaya kompasianer.

Gak setuju? Monggo, ghosting dari Kompasiana. Bikin blog sendiri kalau kamu mampu. Sudah ada yang begitu. Silahkan ikuti jejaknya. Kamu kira gampang?

"Biar Admin yang mikir." Itu kata Engkong Felix dalam artikel kemarin.

Maksud Engkong, biarkan Admin yang berpikir dan berupaya mengembangkan, membesarkan, dan mentenarkan Kompasiana. Mikir soal topil yang terkadang gak menenggang rasa; kerjasama konten yang memihak milenial; lomba blog demi kepentingan sponsor; menciptakan insentif menulis yang tak selalu menarik; menebalkan kuping pada nyinyiran kompasianer kenthir; memoles tampilan Kompasiana; mengembangkan fitur dan sub-kanal;  distribusi K-Rewards yang gak seberapa dan gak merata.

Semua itu demi meningkatkan semangat dan produktivitas menulis kompasianer, membagikan konten terbaik walau tak dibayar. Itu akan meningkatkan trafik pengunjung Kompasiana. Lalu iklan, kemudian pendapatan.

Jadi, iri hatikah kamu pada Admin karena kamu telah menggaji mereka untuk itu semua?

Harusnya kamu bangga sebagai kompasianer. Bisa menggaji Admin dari ketekoranmu. 

Sebab terberkatilah kamu yang memberi dari kekuranganmu. Kamulah alasan untuk Kompasiana tetap ada. Ini gak lebay, kan?

Yang Engkong paparkan di atas sudah sesuai dengan teori pertukaran sosial. Setiap pemberian punya imbalannya sendiri. Tekor di sini untung di sana. Begitulah dunia kita.

Jadi silahkan berbangga diri. Engkong sih woles ae. (eFTe)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun