Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Perlu Dikebiri Itu Pemerkosa, Bukan Hewan Terlantar

25 Agustus 2022   15:04 Diperbarui: 25 Agustus 2022   16:32 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bimbim Clow, seorang volunter penyelamat kucing terlantar, di rumah singgah kucing Clow (Foto: Pebby Ade Liana/jakarta.tribunnews.com) 

Lain hal bila para kucing jantan itu memperkosa kucing-kucing betina di pinggir jalan, di gang-gang pemukiman, di atap rumah, dan di atas pohon kelapa.  Lalu kucing-kucing betina pada hamil dan melahirkan banyak anak.  Terjadilah ledakan populasi kucing terlantar.

Kalau kasusnya pemerkosaan, ya, setujulah kucing-kucing jantan terlantar itu dikebiri.  Tapi ini kan tidak. Suka sama suka. Malah sambil mengerang-erang di tengah malam.  

Kalau masih ngotot mau kebiri, yang perlu dikebiri itu mestinya manusia laki pemerkosa. Apalagi laki pemerkosa anak dan murid sendiri. Kan sudah ada dasar hukumnya.  

Manusia laki pemerkosa jelas biadab, amoral, dan melanggar hukum.  Pantaslah dikebiri.  Lha, kucing-kucing terlantar?  Mereka kan cuma menyalurkan hasrat seksualnya secara alami dan serasi (walau bising).  Kok, ya, dikebiri. 

Coba kita renungkan. Satu-satunya nikmat hidup yang tersisa pada kucing-kucing terlantar adalah hubungan seks sekali semusim. Itupun mau diambil juga dari mereka. Sadis banget. Udah diterlantarkan, dikebiri pula, dirampas hak seksnya.

Atau mungkin ada pengusaha yang pengen banget dapat proyek pengebirian kucing terlantar?  Itu menggiurkan, lho.  Coba hitung-hitung.  Biaya kebiri kucing jantan paling murah, katakanlah, Rp 200,000 per ekor.  Misalkan seluruh Indonesia ada 10,000 ekor kucing terlantar.  Berarti total biaya kebiri Rp 2,000,000,000.  Dua miliar rupiah, kawan.  Belum lagi kalau biayanya di-mark up.

Saya melihatnya begini.  Kehadiran kucing-kucing terlantar itu adalah pertanda masyarakat yang sedang sakit. Mungkin sakit ekonomi yaitu tak mampu memberi makan kucing-kucing piarannya.  Mungkin juga sakit sosial yaitu tak mau bertanggung-jawab pada kucing piaraannya. Atau mungkin juga sakit jiwa yaitu senang membuang kucing di jalanan.

Kucing itu habitatnya di rumah, menjadi piaraan manusia.  Jadi kalau kucing-kucing itu kemudian terlantar di luar rumah, berarti yang salah pemiaranya.  Bereskan dulu pemiaranya, masyarakat yang "sakit" itu.

Jadi, jangan keburu nafsu mengebiri kucing-kucing terlantar di luar rumah.  Mereka tidak salah.  Sebaiknya bikin program re-domestikasi saja, pengembalian ke rumah. Misalnya lewat cara adopsi, rumah singgah, resetlement, transmigrasi, repatriasi, atau apalah.

Lalu siapa yang harus melakukan program seperti itu? Ya, Dinas Peternakan-lah!  Untuk apa rakyat susah-payah  bayar pajak menggaji staf dinas itu.

Eh, ngomong-ngomong, apa jadinya kalau ada kucing jantan terlantar berteriak, "Ayo, kita kebiri manusia-manusia jantan itu!" (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun