"Bila sudah jenuh, berhentilah."
Itu prinsip pengumpulan data dalam seni penelitian kualitatif. Seni, ya, saya bilang seni. Penelitian kualitatif bagiku bukan kerja, tapi seni komunikasi.
Tentu komunikasi dalam pengertian Habermasian: suatu proses interaksi antar subyek-subyek yang setara untuk mencapai satu kesepahaman.
Begitulah dalam penelitian kualitatif. Bila data atau informasi tentang satu hal dari sejumlah orang sudah jenuh (redundant), dalam arti tak ada lagi yang baru, maka berhentilah bertanya. Sebab kesepahaman, dan karena itu kebenaran, sudah tercapai.Â
Tidak persis seperti itu. Tapi interaksi saya dengan Kompasiana kini terasakan sudah pada titik jenuh yang menyiksa. (Lebay dikitlah.) Dalam arti, saya sudah pada taraf kesulitan menemukan informasi yang baru.Â
Dulu saya mengritik Kompasiana karena banjir artikel-artikel "politip" yang repetitif dan, karena itu, jenuh atau redundant. Tapi kritik tinggal kritik. Artikel politip tetap jaya, bahkan menjadi semacam "genre" penciri Kompasiana.
Okelah. Saya masih kuat. Masih sanggup bertahan.
Alasannya, sesuai kritikku, Kompasiana membuka diri lagi pada artikel politik. Jadi, ya, ada penyeimbanglah.
Cinta taklah tepuk sebelah tangan.
Pikirku begitu dulu. Tapi ternyata aku salah. Artikel politik yang meraja di Kompasiana ternyata sepola dengan artikel politip. Repetitif dan, karena itu, menjenuhkan juga.