Pembunuhan adalah suatu tindakan sosial. Itu jika merujuk teori Max Weber.
Kata Weber, tindakan sosial adalah aksi bermakna seorang individu yang ditujukan pada individu lain. Bentuk dan arah tindakan individu tersebut dipengaruhi oleh aksi dan perilaku individu lain itu. Â
Suatu tindakan sosial, demikian Weber, mesti diletakkan pada satu konteks interaksi bermakna antar individu. Ada aksi dari satu pihak sehingga ada reaksi dari pihak lain. Atau sebaliknya.
Kata "bermakna" pada frasa "aksi/interaksi bermakna" itu merujuk pada motif subjektif yang mendasari suatu tindakan sosial. Hanya jika ada motif, maka suatu tindakan dapat dikategorikan aksi sosial.
Untuk memahami (verstehen) motif subyek itu secara obyektif, Weber menggunakan konsep rasionalitas sebagai acuan. Dia lalu membedakan dua tipe ideal tindakan sosial, yaitu tindakan rasional dan irrasional.
Weber membedakan tindakan rasional ke dalam dua tipe ideal:
- Tindakan rasional instrumental: tujuan tindakan dan alat untuk mencapainya dipertimbangkan dan dipilih secara sadar dari sejumlah pilihan. Dasar pilihan lazimnya adalah manfaat, risiko, serta efektivitas dan efisiensi.
- Tindakan rasional berorientasi nilai:tujuan tindakan adalah pemenuhan suatu nilai yang tak bisa ditawar. Dengan demikuan pwrtimbangan rasional hanya menyangkut alat untuk mencapainya.Â
Tindakan irrasional juga dibedakan menjadi dua tipe ideal:
- Tindakan tradisional: tidak ada pertimbangan dan pilihan tujuan dan alat mencapainya. Semata-mata tindakan karena alasan tradisi budaya saja.
- Tindakan afektif: impulsif, sermata-mata karena dipicu kondisi emosi. Semisal rasa marah, gembira, dan takut.
Apakah sutu peristiwa pembunuhan mungkin sebagai tindakan tradisional atau afektif?Â
Sangat kecil kemungkinan ada orang membunuh karena alasan tradisi budaya. Semisal karena alasan kebiasaan, Â tatalaku, atau adat. Mesti ada alasan yang masuk akal untuk tindakan semacam itu.
Pembunuhan sebagai tindakan afektif juga bukan sesuatu yang lazim. Memang ada kasus seseorang secara impulsif membunuh orang lain karena amarah yang meluap atau ketakutan ekstrim. Tapi dalam kasus semacam itu, tindakan korban yang memicu rasa marah atau takutlah yang harus dipertimbangkan sebagai pemicu utama.
Suatu tindakan pembunuhan, jika merujuk teori Weber, lebih mungkin sebagai tindakan rasional instrumental atau rasional berorientasi nilai. Satu dari dua kemungkinan itu. Â Bukan tradisi atau afeksi. Tapi suatu tindakan rasional berdasar pertimbangan dan pilihan atas tujuan dan alat pembunuhan.
***
Jika pembunuhan Brigadir J(oshua) adalah suatu tindakan sosial, maka dia harus dipahami sebagai reaksi bermakna terhadap suatu aksi terdahulu yang dilakukan Brigadir J. Istilah "bermakna" di situ merujuk pada motif subyektif pelaku pembunuhan. Â
"Makna" atau motif subyektif itu dapat ditangkap secara obyektif dengan memahami (verstehen) rasionalitas pembunuhan sebagai suatu tindakan sosial.
Berdasar dugaan-dugaan motif yang sudah tersebar ke ruang publik, dan fakta penetapan tersangka pelaku pembunuhan (FS, RE, RR, KM), sekurangnya ada dua hipotesa kematian Brigadir J yang dapat diuji kebenarannya.Â
Hipotesa 1:Â Â "Deep Throat" Killing
"Deep Throat" adalah pseudonim untuk seorang sumber rahasia yang memasok informasi tentang keterlibatan Presiden Nixon dan stafnya dalam skandal Watergate kepada Bob Woodward dan Carl Bernstein, reporter Washington Post.Â
Skandal Watergate adalah upaya penyadapan kantor Komite Nasional Demokrat (Partai Demokrat) oleh kelompok pendukung Nixon (Partai Republik) yang memperjuangkan pemilihan kembali Presiden Nixon.
Keterlibatan Nixon dalam skandal itu, sebagaimana diungkap Woodward dan Bernstein, berujung pengunduran dirinya dari jabatan Presiden AS. Â Juga hukuman penjara untuk Kepala Staf Gedung Putih dan sejumlah orang dekat presiden Nixon (the president's men).
Pada kasus kematian Brigadir J, hipotesa deep throat killing ini berangkat dari informasi yang diungkap Kamaruddin Simanjuntak, pengacara keluarga Brigadir J berikut:Â
- Adanya data rekaman elektronik ancaman pembunuhan terhadap Brigadir J sejak Juni 2022. Â Bunyi acaman, kurang-lebih, "apabila naik ke atas akan dihabisi". [1]
- Adanya informasi pembunuhan Brigadir J diduga terkait dengan sindikat  "bisnis gelap tata kelola narkoba dan judi" di lingkungan kepolisian. [2]
Pertanyaan yang harus dijawab untuk membuktikan kebenaran hipotesa deep throat killing ini adalah:
- Apakah benar terdapat sindikat bisnis gelap tata kelola narkoba dan judi di lingkungan kepolisian?
- Apakah benar Brigadir J seorang Deep Throat yang memiliki informasi tentang bisnis gelap tata kelola narkoba dan judi yang melibatkan kalangan tertentu di tubuh kepolisian?
- Apakah benar informasi  yang dimiliki Brigadir J berpotensi serius menghancurkan karier sejumlah petinggi kepolisian "apabila naik ke atas" atau disampaikan kepada pimpinan tertinggi kepolisian?
- Apakah benar informasi tersebut sudah disampaikan Brigadir J kepada pimpinan tertinggi kepolisian?
- Apakah benar sejumlah petinggi kepolisian yang bisa terancam kariernya itu adalah FS dan "orang-orang di lingkarannya"?Â
Lima pertanyaan di atas harus terjawab positif (ya/benar, didukung bukti) secara konsisten dari nomor (1) sampai (5).  Jika pertanyaan (1) tidak benar, maka empat pertanyaan berikutnya pasti tidak benar.  Atau, jikalau pertanyaan (1)  benar, belum tentu juga pertanyaan (2) dan seterusnya  benar.
Hanya dan hanya jika kelima pertanyaan terjawab positif, dalam arti konsisten  benar (didukung bukti), maka dapat dibuat suatu sangkaan bahwa "kematian Brigadir J adalah suatu kasus deep throat killing".  Artinya, Brigadir J dilenyapkan karena informasi yang dimilikinya berisiko tinggi untuk menghancurkan sejumlah petinggi kepolisian, atau secara lebih spesifik "FS dan orang-orang di lingkarannya".
Jika benar pembunuhan Brigadir J adalah sebuah kasus deep throat killing, maka kejadian itu lebih merupakan tindakan sosial rasional instrumental. Artinya pembunuhan itu sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dipilih tujuan dan alatnya secara rasional. Dengan kata lain tindakan pembunuhan itu sudah dihitung risikonya, demi sebuah tujuan tertentu yang "menguntungkan" pelaku atau para pelakunya.
Hipotesa 2:Â Honour Killing
Kasus honour killing, pembunuhan demi menegakkan kehormatan keluarga, paling kerap terjadi di India dan negara-negara Timur Tengah. Â Kasus perkawinan beda kasta, agama, dan kelas sosial misalnya bisa berujung pada pembunuhan salah seorang atau kedua mempelai oleh keluarga yang merasa kehormatannya dihinakan atau diinjak-injak.Â
Kasus honour killing seperti itu berterima dalam lingkungan masyarakat pelaku, Â karena ada nilai kehormatan keluarga yang harus ditegakkan. Justru kalau tidak demikian, maka keluarga yang "dihinakan" itu akan tambah dihina lingkungan sosialnya.
Pada kelompok etnis tertentu di nusantara, ada juga kasus honour killing, walau semakin jarang terjadi. Â Sebut misalnya siri nipakasiri pada masyarakat Bugis/Makasar Sulawesi Selatan dan carok pada masyarakat Madura.Â
Siri nipakasiri secara khusus adalah tindakan untuk menegakkan kehormatan atau martabat keluarga.  Jika perlu, dan sering terjadi begitu, dengan cara membunuh orang yang dianggap telah melukai kehormatan keluarga. Â
Jika hipotesa honour killing diujikan pada kasus pembunuhan Brigadir J, maka tindakan sosial siri nipakasiri itu mungkin dapat diambil sebagai dugaan. Ini mengingat  dua hal berikut:
- FS, yang disebut sebagai tersangka "otak pembunuhan", memiliki "darah" Sulawesi Selatan sehingga sedikit-banyak mungkin memegang nilai siri nipakansiri dalam dirinya. [3]
- FS memberi pengakuan kepada penyidik Bareskrim bahwa pembunuhan terhadap Brigadir J didasari motif menegakkan kehormatan keluarganya yang telah dilukai oleh Brigadir J. [4]
Pertanyaan yang harus dijawab untuk membuktikan kebenaran hipotesis honour killing ini adalah:
- Apakah benar Brigadir J telah melakukan suatu tindakan yang dinilai FS Â melukai kehormatan keluarganya?
- Apakah benar tindakan Brigadir J yang dinilai FS melukai kehormatan keluarganya itu sudah pada tingkatan layak diganjar dengan pembalasan berupa siri nipakasiri berupa pembunuhan?
- Apakah benar cara  pembunuhan Brigadir J telah bersesuaian dengan kaidah siri nipakasiri?
- Apakah benar dengan terbunuhnya Brigadir J maka kehormatan keluarga FS telah ditegakkan kembali?
Seperti halnya pada pembuktian hipotesis deep throat killing, pembuktian hipotesis honour killing juga mempersyaratkan jawaban yang konsisten positif (ya/benar, didukung bukti) dari nomor (1) sampai nomor (4). Â
Hanya jika konsisten benar, maka bisa dibuat sebuah sangkaan bahwa "kematian Brigadir J adalah sebuah kasus honour killing". Â Artinya, Brigadir J dibunuh demi menegakkan kehormatan (siri) keluarga FS.
Kasus honour killing adalah suatu tindakan rasional berorientasi nilai.  Tujuannya sudah bersifat absolut yaitu menegakkan nilai kehormatan keluarga.  Hanya cara (termasuk alat) pembunuhannya yang dipertimbangkan secara rasional. Artinya, honour killing tetap merupakan tidakan pembunuhan yang direncanakan demi tegaknya nilai kehormatan.
***
Apakah hipotesa  deep throat killing dan honour killing tersebut di atas benar (terbukti) atau salah (tidak terbukti), tentu harus dibuktikan berdasar hukum positif di ruang pengadilan.  Paparan di atas hanya salah satu upaya memahami kasus kematian Brigadir J dari sisi teori sosiologi.  Lebih sebagai sebuah upaya akademis.
Dari pemberitaan kini bisa diketahui pihak Brigadir J condong ke hipotesa deep throat killing. Sementara pihak FS condong ke hipotesa honour killing.
Mana yang benar, keputusannya tetap ada di pengadilan. Dan jika dipercaya  adanya peradilan yang jujur dan adil, maka suatu pembuktian yang benar tentu diharapkan.Â
Apakah hipotesa deep throat killing yang terbukti, atau sebaliknya hipotesa honour killing, atau mungkin hipotesa lain, yang jelas Brigadir J adalah korban pembunuhan. Â Karena itu harus ada pelaku yang mempertanggungjawabkannya.
Tapi satu hal yang perlu diingat pula. Â Peluang sebuah hipotesa untuk diterima (terbukti benar) atau ditolak (tidak terbukti benar), adalah sama (fifty - fifty) sampai akhirnya salah satu dari keduanya menjadi kesimpulan.
Karena itu publik tak perlu membuat pengadilan dan vonis sendiri di luar ruang pengadilan. Keterbatasan akses publik pada fakta-fakta hukum terkait kematian Brigadir J itu berpotensi menuntun pada peradilan publik yang sesat.
Bacaan:
[1] "Brigadir J Disebut Dibayangi Ancaman Pembunuhan Sejak Juni 2022, Pengacara: Dia Sampai Menangis", Kompas, 24/07/2022.
[2] "Motif Penembakan Brigadir J, Pengacara: Bisnis Sabu dan Judi di Kepolisian", mediaindonesia.com, 10/08/2022.
[3] "Profil Irjen Ferdy Sambo, Kadiv Propam Polri yang Rumahnya Jadi Lokasi Baku Tembak", Kompas, 13/07/2022.
[4] "Pengakuan Sambo kepada Polisi, Emosi Lalu Minta Bharada E Bunuh Brigadir J ...", Kompas.com, 12/08/2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H