Kami punya setumbak taman di belakang rumah. Jauh tinggi di atasnya ada sepotong langit. Â Itu langit milik kami. Â Sebab ia mengambang di atas taman kami.
Sepotong langit itu selembar kanvas lukisan alami. Lukisan langit yang tak lelah mengirim pesan kepada kami. Dari pagi sampai malam ke pagi lagi.
Semburat sinar matahari pagi dari timur mengoreskan seberkas garis konvergen keemasan di sepotong langit kami. Katanya  hidup itu mesti lurus agar menebar kebaikan untuk semua.
Di terang siang  pada sepotong langit kami awan putih berarak menapis siraman panas matahari sebelum menjadi mendung yang mencurah hujan. Katanya aral nan merintang alir kebaikan bagi hidup itu mukjizat sumur kebajikan.
Lembayung senja di kaki barat sepotong langit kami menjadi saksi bisu penggulingan sang baskara ke dalam pelukan gulita malam. Katanya keindahan hidup itu adalah anyaman bilah-bilah suka dan duka yang niscaya.
Di gelap malam pada sepotong langit kami sejuta kartika setia mengawal rembulan yang tabah menyinarkan kelembutan. Katanya di hitam gelap hidup ada satu titik putih yang menjadi jalan keluar menuju terang hidup.
Seperti itulah pesan dari sepotong langit milik kami yang tinggi di atas setumbak taman. Â Kami menikmati sepotong langit itu sambil merajut asa kelak menjadi sepasang titik yang berpelukan pada lukisan di sana.
Kami. Istriku dan aku. Akan pergi berumah baru ke sepotong langit milik kami di atas sana. Suatu ketika nanti. (eFTe)
Gang Sapi Jakarta, 12 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H