Ompung Purbatua dulu pindah dari Hutabolon ke Hutabayu. Â Dia mendapat amanah untuk mengelola dan menjaga tanah sawah warisan ayah mereka.
Ayah mereka dahulu mendapat sawah itu sebagai warisan bapaknya -- kakek dari nenek Poltak dan Ompung Purbatua. Â Sewaktu nenek Poltak menikah dengan kakek Poltak, sebidang dari areal sawah itu diberikan kepadanya sebagai pauseang.
Pauseang itu modal hidup pemberian orangtua untuk anak perempuan yang sudah berumahtangga. Â
Nilai pauseang adalah cermin martabat istri. Semakin besar nilainya, semakin tinggi martabatnya. Sebaliknya juga berlaku.
Keberadaan leluhur nenek Poltak di Hutabayu, Tanah Jawa adalah hasil sejarah panjang. Diawali dengan perintisan sekelompok orang Batak bermarga Sinaga dari Urat, pantai barat Samosir ke daerah baru di seberang timur laut pulau itu.Â
Urat adalah pusat salah satu kerajaan Batak tua. Rajanya, bergelar Paltiraja, adalah dinasti bermarga Sinaga.
Perantauan kelompok Sinaga itu terjadi sejak dahulu kala. Jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Â
Mula-mula mereka menduduki daerah kosong yang dinamai Girsang Sipanganbolon. Ke dalamnya  termasuk Sibaganding, Parapat, dan tentu saja Hutabolon.
Dari situ mereka bergerak maju lagi ke arah timur laut. Â Ke daerah Dolok Panribuan, Jorlang Hataran, dan Hatonduhan. Â Lalu masuk lebih dalam lagi ke Tano Jawa, Hutabayuraja, dan Bosar Maligas. Secara keseluruhan wilayah itu dinamai Tanah Jawa.Â
Tanah Jawa kemudian menjadi satu kerajaan sendiri di wilayah Simalungun. Â Secara turun-temurun sampai tahun 1946 rajanya berasal dari garis darah marga Sinaga.
Ayah dari nenek Poltak dulu tinggal di Hutabayu, Tanah Jawa. Â Dia kemudian pindah ke Hutabolon, karena menikah dengan seorang gadis marga pendatang di situ.Â