Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #090] Darmawisata Swadana

12 Mei 2022   12:05 Diperbarui: 13 Mei 2022   07:09 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Itu dia! Motor kita sudah datang!"

Jonder berteriak keras! Menunjuk ke arah bus "Sariburaja" yang datang dari arah Parapat. Motor adalah sebutan orang Batak Toba untuk bus.  

Bus mersedes "tiga per empat" berwarna merah itu berhenti dan parkir tepat di depan kedai Ama Rosmeri.

"Anak-anak, Masuk kelas sebentar. Kita berdoa dulu sebelum berangkat!" Guru Arsenius setengah berteriak.

"Poltak! Kamu Pak Guru tunjuk jadi ketua rombongan. Pimpin teman-temanmu." Guru Arsenius memberi tugas dadakan.

"Nauli, Gurunami." Poltak pasrah.

"Bagus. Sekarang kamu pimpin doa."

Poltak memimpin doa bersama. "Teman-teman, mari kita panjatkan bersama doa Ale Amanami."  

Doa Ale Amanami, "Bapa Kami", doa tertua umat Kristiani yang diajarkan langsung oleh Yesus, meluncur dari mulut-mulut mungil:  

"Ale Amanami na di banua ginjang.
Sai pinarbadia ma goarMu.
Sai ro ma harajaonMu.
Sai saut ma lomo ni rohaM.
Di banua tonga on, songon na di banua ginjang.
Lehon ma tu hami sadarion hangoluan siapari.
Sesa ma dosanami.
Songon panesanami di dosa ni dongan na mardosa tu hami.
Unang hami togihon tu pangunjunan.
Palua ma hami sian pangago.
Ai Ho do nampuna harajaon,
dohot hagogoon rodi hasangapon
saleleng ni lelengna. Amen."

(Bapa kami yang di surga.
Dikuduskanlah nama-Mu.
Datanglah Kerajaan-Mu.
Jadilah kehendak-Mu.
Di bumi seperti di surga.
Berikanlah kami pada hari ini
makanan kami yang secukupnya.
Dan ampunilah kami akan kesalahan
kami, seperti kami juga mengampuni
orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami ke
dalam pencobaan.
Tetapi lepaskanlah kami dari pada
yang jahat.
Karena Engkaulah yang empunya
Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan
sampai selama-lamanya. Amin.)

Hari itu, pagi, Rabu 1 Mei 1973. Hari sukaria untuk murid kelas enam SD Hutabolon. Hari mimpi menjadi kenyataan: darmawisata.  

Pada hari itu, mereka boleh menikmati hasil jerih payah berhari-hari, berminggu-minggu, bulan ke bulan.  Hari-hari berpeluh mencari dan menabung sedikit demi sedikit uang untuk swadana darmawisata.

Semua anak telah berjuang keras. Poltak, Binsar, dan Bistok mencari kayu bakar di hutan lalu menjualnya ke toke soban. Juga mengumpul buah makadamia yang dijual ke pemborong kehutanan. Serta menjadi buruh pembungkus bibit pinus di pembibitan punya dinas kehutanan di Toruan.

Jonder, Adian, Togu, Marolop, Nalom, dan Saur menjual rumput kepada pemborong lapangan golf dan hotel di Parapat. Setiap pulang sekolah, bersama para lelaki dewasa,  mereka menyempatkan diri mencangkuli bungki, bongkah tanah berumput, di padang-padang rumput desa. 

Alogo dan Gomgom lain pula. Mereka menangkap ikan pakai bubu, lukah di Sungai Binangabolon. Hasil tangkapan, ikan pora-pora dan kadang ihan Batak, dijual kepada warga sekampung atau kampung lain. 

Para murid perempuan tak kalah gigih. Berta dan Tiur jualan pisang goreng tiap hari Minggu di depan gereja HKBP Hutabolon. Dagangan mereka larus manis.

Berta tak perlu lagi membayar kekurangan biaya darmawisata. Tanpa menyebut nama Berta, secara diam-diam Poltak sudah menyerahkan sumbangan sebesar limapuluh rupiah kepada Guru Arsenius.

"Sudah beres. Kelas kita mendapat sumbangan dari hamba Tuhan," kata Guru Arsenius menjawab pertanyaan Berta soal pembebasan biaya itu.

Jojor, Poibe, dan Risma kerjasama jualan kacang tojin dan kacang kulit sangrai. Mereka menjual dengan cara titip di kedai-kedai di Hutabolon. Juga beberapa kali mereka menjualnya secara asongan di pesta-pesta adat di Hutabolon.

Dinar berjualan ketimus dan singkong goreng. Pelanggan utamanya para buruh pemecah batu pada proyek peningkatan jalan raya Trans-Sumatera. Buruh etnis Jawa asal Sinaksak, Siantar itu sedang bekerja di ruas Sorpea-Hutabolon. 

Sehabis  doa, Guru Arsenius mengarahkan anak-anak naik ke atas bus. "Anak-anak, ayo, naik ke motor. Tertib!" 

Tapi anak-anak itu terlalu suka-cita untuk bisa tertib. Mereka seakan lomba lari menuju bus "Sariburaja". Sudah pasti pemenangnya Binsar, juara lari seratus meter itu. 

"Jonder! Tahu diri kau! Duduk di belakang sana! Itu bangku guru!" Poltak menegur Jonder yang duduk di asese, jok depan di samping supir.

"Perempuan di bangku depan. Laki-laki di belakang." Poltak mengatur pemisahan tempat duduk. 

"Bah, macam duduk di gereja saja kita." Marolop bersungut-sungut.

Di gereja-gereja di Tanah Batak,  sampai awal 1970-an perempuan dan laki-laki memang duduk terpisah. Perempuan di barisan bangku kiri, laki-laki di kanan. Atau perempuan di depan, laki-laki di barisan belakang.

Karena itu ada anekdot: suami-istri yang dipersatukan oleh Tuhan, dipisahkan oleh bangku gereja.

Demikian pula di pesta-pesta adat. Laki-laki duduk dalam satu kelompok  Perempuan, dan anak kecil, duduk membentuk kelompok lain.  

Bahkan di ruang kelas juga begitu. Perempuan di bangku depan. Laki-laki di belakang. Murid laki-laki terbodoh paling belakang.

Dan sebenarnya, di dalam bus juga begitu. Sedapat mungkin perempuan duduk dalam kelompok terpisah dari laki-laki. 

Pemisahan semacam itu dibuat karena dalam masyarakat Batak Toba, secara adat, ada tabu untuk lelaki dan perempuan dengan hubungan kekerabatan tertentu duduk berdampingan. 

Seorang suami tabu duduk berdampingan dengan inang bao, istri lae, ipar kandungnya. Demikian pula seorang istri tabu duduk berdampingan dengan suami eda, ipar kandungnya. Juga, seorang mertua lelaki tabu duduk berdampingan dengan istri anaknya.

"Poltak! Kau jangan duduk sebangku dengan Berta!" Jonder berteriak.

"Bah, suka-suka akulah. Na marpariban, bolehlah. Iri pula kau."

"Woo ..., namarpariban!" Murid-murid bersorak kompak, disusul tawa cekakak-cekikik.

"Sudah! Diam dulu. Kita absen. Adian!"

"Hadir."

"Alogo!"

"Hadir."

Sementara Poltak mengabsen murid, Guru Arsenius duduk menunggu di kedai Ama Rosmeri.  Pengaturan murid-murid dalam bus dipercayakannya pada Poltak.

"Togu!" Poltak memanggil nama terakhir.

"Hadir."

"Hadir semua. Siap berangkat!" seru Poltak.

"Siap! Berangkat!" Pak Supir menjawab, sambil menstarter bus. 

"Maju ...!" Murid-murid lelaki bersorak penuh semangat.

Bus "Sariburaja" mulai bergerak maju perlahan. Diiring sorak-sorai bergembira murid-murid.  

Di tengah kegembiraan itu, Poltak merasa ada yang aneh. Sesuatu yang rasanya tak lengkap. Tapi apa? (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun