Belasan tahun lalu inangni, ibunda, Â Poltak sedang berkunjung ke rumah anaknya itu di Jakarta. Â
Berta,  istri Poltak, parumaen, mantu perempuan untuk ibunya itu, menyajikan tempe gembus goreng dan lodeh tempe bosok, atau sangit, untuk lauk makan siang.
Tempe gembus dan tempe bosok itu lauk kegemaran Poltak. Berta, istrinya yang putri Solo 50 persen itu telah meracuni lidahnya dengan makanan enak itu.
"Makanan apa ini?" tanya Inang Poltak menyelidik. Sambil makan dengan lahapnya.
"Tempe gembus dan tempe bosok," jawab Poltak.
"Tempe apa itu?" Inang Poltak menyelidik lagi, sambil menyendok tambahan lodeh.
"Mmm, tempe gembus itu dibikin dari ampas tahu. Tempe bosok, ya, tempe yang sudah mulai membusuk."Â
"Bah!" Inang Poltak macam tersedak tempe gembus dan tempe bosok. "Pantaslah tak enak," lanjutnya sambil menggigit lagi sepotong tempe gembus. Itu potongan keempat.
Lodeh tempe bosok sendiri sudah ludes dua mangkok.Â
Inang Poltak itu macam burung sibigo, kepodang, lagi makan buah di pohon. Cerewet berkicau, yang bunyinya dalam bahasa Batak terdengar seolah bilang "tak enak", Â tapi makan terus sampai habis.