Dulu, karena pemahaman yang dangkal, saya menafsir lagu "Sai Mulak" itu semata sebagai lagu panggilan tobat bagi para pendosa. Bagi umat yang hidupnya menyimpang dari jalan Tuhan.
Tafsir bahwa lagu itu terinspirasi "Perumpamaan Anak yang Hilang" baru muncul belakangan hari, setelah mendengar lagu itu dibawakan oleh Consolatio Choir USU Medan. Dengan dirigensi Tony Siagian, dinyanyikan secara koor dengan iringan musik tradisional Batak, lagu itu memberi kesan mendalam.
Tapi, sebelum saya bicara lebih jauh, baik kiranya bila kita mendengarkan lagu itu terlebih dahulu:
Di tangan kolaboratif dirigen Tony Siagian dan maestro musik tradisional Batak, Marsius Sitohang, lagu Sai Mulak sukses menjadi sebuah musik gereja inkulturatif yang tidak saja sangat indah, tapi juga mampu meresap sampai ke dasar kalbu.
Tony dan Marsius, pada seruling Batak, telah menginterpretasikan lagu ini dalam konteks budaya Batak Toba. "Perumpamaan Anak yang Hilang" ditempatkan dalam konteks keluarga Batak. Orangtua, Bapak/Ibu setia menanti anaknya yang salah jalan, jauh secara rohani, untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.
Intro koor memperdengarkan detang lonceng gereja tiga kali, lonceng panggilan untuk datang ke Rumah Tuhan. Disusul bunyi organ pada nada monoton panjang, ditingkah gema bunyi tagading, perkusi Batak, yang ditabuh sekali-sekali. Intro ini mengesankan sebuah penantian panjang di ruang kosong yang pintunya selalu terbuka.
Intro dilanjutkan dengan tiupan seruling Marsius, diiring petikan kecapi Batak. Rangkaian nada seruling itu mengadopsi andung, senandung duka-lara yang lazim dilagukan oleh orangtua Batak, antara lain saat merindu kehadiran atau kepulangan anaknya tang tak tentu rimba.
Bagian chorus yang dibawakan CC USU dalam nada lembut membujuk kemudian menegaskan kerinduan orangtua itu. Kerinduan akan pertobatan seorang anak terkasih yang telah salah jalan, jatuh ke dalam dosa.
Nada-nada pentatonik seruling Marsius telah menjadi jiwa lagu ini. Nada-nada andung pada intro, dan kemudian pada interlude, sebelum chorus kedua, serta pada outro penutup koor, berhasil membangun imajinasi kesedihan dan pengharapan orangtua atas kepulangan anak yang telah hilang. (Koor hanya menyanyikan bait 1 dan bait 4 lagu itu.)
Tiupan seruling baik pada intro, mapun pada interlude dan outro, selalu diakhiri dengan nada lagu baris terakhir pada chorus, "Mulak ma ho", "Pulanglah kau." Suatu panggilan orangtua yang merindu kepulangan anak yang hilang.