"Pemecatan permanen  Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K)  dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah kabar baik untuk pembangunan kesehatan nasional."
Merujuk keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), maka  Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh (21-25 Maret 2022) mengamanatkan kepada  pengurus  IDI periode 2022-2025 untuk memecat secara permanen Dokter Terawan dari keanggotannya di IDI.Â
Keputusan pemecatan itu diambil karena, berdasar hasil rapat MKEK, Dokter Terawan dinilai telah melakukan pelanggaran kode etik kedokteran.Â
Dua di antaranya tergolong pelanggaran berat. Pertama, mempraktekkan terapi "cuci otak" -- kombinan Digital Substraction Angiography dan injeksi heparin (DSA-heparin) -- untuk pasien stroke, padahal keandalan dan kemanannya belum teruji secara ilmiah.
Kedua,  mempromosikan dan memberikan layanan vaksin nusantara -- vaksin  Covid-19 berbasis sel dendritik -- padahal vaksin itu masih dalam tahap penelitian.Â
Dua inovasi yang dinilai melanggar kode etik kedokteran itu, DSA-heparin dan vaksin dendritik --  secara tegas telah memposisikan Dokter Terawan sebagai kritik paradigmatik terhadap  IDI.Â
Dalam kasus tersebur, Dokter Terawan telah tampil sebagai representasi  anarkisme metode ala Paul Feyerabend dalam dunia kedokteran. Sementara IDI teguh sebagai representasi positivisme empiris ala Francis Bacon.
Dua paradigma atau mashab itu, positivisme empiris dan anarkisme metoda, Â sepintas tampak bertentangan. Sehingga, jika dilihat dari segi itu saja, orang akan menganggap logis langkah IDI memecat Dokter Terawan.
Padahal dua mashab itu sejatinya tak bertentangan.  Anarkisme metoda adalah kritik kepada kemapanan seperti  positivisme empirik. Saya akan coba jelaskan di bawah ini. Â
***